10 💧 Persiapan selesai.

82 6 17
                                    

Aku mempersiapkan segala sesuatu yang kubutuhkan selama berada di luar negeri. Kalaupun ada sesuatu yang tertinggal atau ada apa-apa di pertengahan jadwal, aku hanya perlu menghubungi Lex agar dia membantuku. Kantor berita tempatku bekerja juga sudah memberikan sokongan penuh terhadap rencanaku.

Begitupula Lois, seniorku itu bahkan terlihat bangga padahal aku belum melakukan apa-apa. Tadinya aku berniat berpamitan dan minta maaf juga pada Superman atas kejadian sebelumnya, tetapi Clark–sosok asli Superman itu sedang dipindahtugaskan dan belum kembali ke kantor utama. Ya, setidaknya aku sudah menitip pesan pada Lois. Tentu saja ini tanpa sepengetahuan Lex, bisa-bisa dia marah jika aku berbaikan dengan mereka.

Koper berwarna hitam besar sudah kuisi dengan barang-barang dan pakaian. Tas ransel besar juga penuh isi. Setelah melakukan pemeriksaan ulang, semua sudah siap tanpa ada satu pun yang tertinggal.

"Enak banget Kak Res mau jalan-jalan ke luar negeri pula." Liana, adik bungsu yang selalu kupanggil Ana itu cemberut, ada sorot iri yang muncul dari tatapannya.

"Aku ke luar negeri kan kerja, An. Bukan liburan," balasku.

"Tapi bisa jadi liburan juga loh, Kak. Aku gak diajak." Ana masih cemberut saja.

"Liburan gimana? Orang negara yang mau kukunjungi lagi panas-panasnya perang. Jangankan liburan, bisa-bisa nyawaku melayang di sana," kataku menjelaskan.

"Kak Res jangan ngomong kayak gitu, dong." Ana meninggikan suara.

"Lah kan bisa saja gitu. Aku ke sana buat nulis jurnal, nulis berita, jadi reporter dan ngasih berita secara on time atas perang kedua belah pihak. Kayaknya aku bakalan aktif di perbatasan negara sih. Mana bisa aku liburan." Aku menjelaskan.

"Kakak gak takut?" Ana bertanya, sorot mata iri atau ekspresi cemberutnya sudah tidak ada lagi.

"Takut sedikit. Tapi ini memang sudah pekerjaanku, kan. Aku suka kok ngelakuin pekerjaan ini." Aku membalas sambil tersenyum.

"Terus aku gimana, Kak? Gak asyik dong di sini kalau gak ada Kak Res. Kita gak lengkap." Ini anak lagi merajuk apa bagaimana, sih?

"Kan ada Conner," balasku. "Nanti bisa jalan-jalan sama dia sekaligus latihan terbang. Umurmu udah empat tahun tapi masih belum juga bisa terbang."

Muka Ana memerah, entah itu ekspresi marah, kesal, atau bagaimana aku tidak bisa mendeskripsikan. "Kakak ngejek, ya? Mentang-mentang alien bisa terbang dari bayi."

Oh sepertinya kesal betulan.

"Hahaha, bercanda, An. Maksudnya selama aku gak ada, sering-seringlah main sama Conner. Nanti sekalian latihan bela diri, latihan terbang, kalau perlu lakukan akroBAT." Aku menyemangati.

Alih-alih tergugah, Ana malah langsung merebahkan diri di kasurku. "Malas, ah."

"Hee, kebiasaan." Jiwa-jiwa rebahan Ana memang sudah seperti ciri khas. Jawaban yang sama sudah sering aku dapatkan setiap kali aku atau Conner memintanya latihan berbagai macam hal.

"Jangan khawatir, Kak Res. Darling nanti aku yang urus." Suara Conner memecah dari balik badanku. Aku berbalik, mendapati Conner yang memang sedari awal berdiri di ambang pintu.

"Ajak Ana jalan-jalan biar bisa sekalian latihan." Aku berpesan.

"Siap, Kak." Conner menjawab sambil menaik-turunkan alis beberapa kali, tak luput juga jari jempol yang diacungkan.

"Halah, paling big bro mau ngajak keluyuran itu." Ana menanggapi.

"Mana ada. Aku adalah big bro teladan yang keren," sanggah Conner yang kemudian berbalas sanggahan pula dari Ana.

Perdebatan kedua adikku itu menjadi pemandangan terakhir yang aku saksikan sebelum benar-benar berpamitan pergi untuk bekerja. Setelah semuanya beres, aku keluar dari kamar dibuntuti oleh Ana dan Conner untuk diantar sampai halaman depan apartemen. Di sana, aku sudah ditunggu oleh Miss Waller, seorang wanita berotot yang menjadi orang kepercayaan Lex. Ia akan mengantarku hingga tiba di negara tujuan.

Namun, langkahku tidak kunjung beranjak dari semenjak menginjakkan kaki di halaman apartemen. Bukan karena urung untuk pergi, tetapi ada sesuatu yang membuatku kehilangan mood. Barbara Gordon, wanita berambut oranye panjang bergelombang yang menjadi simpanan Dick itu berdiri tak jauh dari Miss Waller dan sedang memandang ke arahku cukup tajam.

"Mau apa kamu ke sini?" Aku bertanya tanpa ada niat berbasa-basi.

"Aku ingin bicara." Barbara menjawab.

Ah, malas sekali. "Padahal di apartemen ini ada banyak penjaga, kamu juga di sini, Miss Waller. Masa' orang seperti dia diizinkan masuk."

Miss Waller memejamkan mata lalu menundukkan kepala. "Maafkan saya, Nona Resti. Tetapi beliau memaksa dan hendak berbicara penting dengan Nona."

Aku tertawa kecil. Sepertinya bicara penting yang dimaksud itu tidak akan benar-benar penting.

.

761 Kata ~

.

A/N : Terinspirasi dari Justice League: The Flashpoint Paradox, tapi o tentu jelas bakalan beda.

You Cheated On Me, Dick! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang