16 💧 Baikan dulu.

42 5 14
                                    

Usai berbilas diri, aku mendapati satu set pakaian sudah disiapkan olehnya untukku di atas tempat tidur. Celana panjang longgar, sweater longgar dan lembut terlipat rapi di sana. Aku mengenakannya lalu beralih ke ruang samping yang ada di dalam bat plane ini. Sudah kuduga bahwa Dick ada di sana. Namun, yang membuat aku terheran adalah ia yang memindahkan banyak makanan ke atas meja makan dari dapur di sisi kanannya.

"Kamu ... masak?" tanyaku.

Dick kaget untuk sesaat karena kedatanganku yang tiba-tiba. Ia menoleh padaku lantas tertawa kecil sambil menjawab, "Mana mungkin aku bisa memasak."

"Hahaha. Benar juga," balasku.

Tidak perlu bertanya, tidak perlu pula berkata apapun, aku sudah mengerti bahwa hidangan yang ia sajikan di atas meja ini untukku. Oh, atau lebih tepatnya untuk kita berdua. Aku duduk di sebuah kursi kosong yang mungkin sudah dipersiapkan untukku. Ayam bakar kecap, sate ayam, nasi, dan ikan berkuah. Semuanya makanan yang aku suka. Dick baru duduk di kursi yang posisinya ada di depanku dengan hanya dibatasi oleh meja makan.

"Alfred yang membuatkannya, aku hanya tinggal menghangatkan," kata Dick.

Pada akhirnya, kami makan bersama. Sepanjang menikmati hidangan Dick berceloteh tentang bagaimana ia akhirnya bisa sampai ke tempat ini. Dimulai dari ia yang katanya mencariku hampir setiap hari ke apartemen tapi tidak berjumpa sampai akhirnya Liana memberitahunya bahwa aku berada di Pystonia. Namun, ia meminta bantuan kepada Conner untuk mengetahui lokasi pasti sekaligus menghapuskan pemblokiran Lex terhadap segala hal yang berhubungan denganku. Karena hal itu pula akhirnya ia ditinju oleh Conner sebagai harga atas bantuan yang diberikan.

"Harusnya kamu minta tolong sama Liana." Aku berkomentar, sedikit geli melihat wajah cemberut Dick yang mungkin sedang mengingat-ingat momen itu.

"Semenjak kau tidak ada, adik ipar bungsu disita ayah mertua," balas Dick.

"Disita?" tanyaku.

Dick mengangguk. "Iya. Liana sering bersama Lex, mungkin untuk menggantikanmu bantu-bantu, entahlah. Karena itu aku tidak berani."

Lucu.

"Kamu takut sama ayah?" tanyaku lagi.

"Seriously, ayah mertua rasanya lebih menyeramkan daripada Bruce." Dick mengucapkan itu sambil bergidik. Aku tertawa. Padahal ayah justru takut pada Batman.

"Terus?" Aku bertanya lagi, ingin mendengar lebih banyak ceritanya dalam sebulan terakhir selama kami tidak pernah berjumpa.

Kemudian, Dick bercerita bahwa ia melacakku melalui bat satelite hingga menemukan lokasi pasti dari keberadaanku yang ada di perbatasan Pystonia. Ia meminjam bat plane dari Bruce lalu kemudian mengajak Conner ikut setelah mengetahui bahwa tempat yang dituju tidak bagus untuk dijadikan landasan pesawat. Conner diminta untuk mengangkat bat plane dari Gotham hingga ke Pystonia dengan alasan hemat bahan bakar. Sementara Dick mengudara, Conner juga mencabut pohon-pohon di hutan yang akan menjadi landasan serta meratakan tanahnya hingga Dick bisa mendarat dengan aman.

Dick melanjutkan pula menceritakan tentang Conner yang merengek untuk tetap berada di sini karena hendak ikut menemuiku sedangkan ia melarangnya. Conner disuruh pulang sebab Dick tidak mau diganggu ketika nanti akan berdua-duaan. Kesal karena diusir, Conner akhirnya mendaratkan pukulan kedua ke perut Dick sebelum akhirnya terbang pulang.

"Pantesan luka lebammu parah banget," komentarku.

"Aku baik-baik saja, kok. Ini akan sembuh dengan sendirinya nanti," jawabnya dengan cengiran lebar di wajah.

Aku tidak yakin.

Makan malam bersamanya sudah selesai sehingga aku membereskan piring kotor ke wastafel lalu mencucinya dan merapikannya. Barulah setelahnya aku mengambil obat-obatan dan kembali pada Dick.

"Buka bajumu," ucapku. Dick memandangku dengan wajah datar, matanya mengerjap beberapa kali sebelum ia benar-benar membuka baju.

Aku menggeser kursi dan duduk tepat di depannya lalu memulai aktivitas mengobati lukanya. Dia tidak banyak berbicara, tidak pula banyak bergerak selain posisi-posisi yang kumintai. Begitu selesai, aku menutup dengan perban dan menyimpan lagi ke tempatnya.

"Aku gak seahli Alfred soal ngobatin orang, tapi seenggaknya diobati."

Bisa kulihat dia yang tersenyum lebar sambil memegangi perutnya. "Tidak apa. It's mean a lot for me."

"Apaan, sih. Gak jelas."

Dick justru terkekeh. Aku berniat untuk keluar dari bat plane tadinya tetapi urung karena merasakan pelukan hangat dari belakang. Tangannya melingkar di pinggangku, merangkul begitu erat dengan wajahnya yang ditenggelamkan di bahuku.

"Dick." Aku menyebut namanya, ingin melepas tangannya tetapi tidak bisa.

"Res," suaranya pelan. "Sekarang ... aku boleh bicara serius, kan?"

Aku menduga bahwa yang dimaksud olehnya adalah pembahasan tentang kita yang bahkan belum berbaikan. Ditambah lagi saat aku pergi ke sini, saat itu aku sudah membuat keputusan. Jika Dick mau memperbaiki hubungan ini dalam kurun waktu yang kutemukan, aku akan memberinya kesempatan.

Aku tersenyum senang. Kurasa, tanpa harus bicara pun, kehadirannya yang nekat datang ke Pystonia menyusulku sudah cukup untuk dijadikan sebagai pembuktian. "Aku udah maafin kamu, Dick."

Wajah Dick terangkat, badanku dibuat berbalik menatap ke arahnya. Tangannya menggenggam kedua bahuku cukup erat. "Ulang."

"Aku maafin."

"Lagi."

"Ah, masa' kamu gak dengar, sih?"

Dia tertawa. Senang sekali dia sampai langsung kembali memelukku sembari berkata, "Aku rindu."

Aku juga sama. Malam ini, biarlah kami menikmati waktu berdua.

.

886 Kata~

.

A/N : heheheh, halu lancar sekali wak.

You Cheated On Me, Dick! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang