06 A

752 103 25
                                    

Kau sedang dalam tahap berdamai dengan masa lalumu. Tidak mudah menghapus kenangan keluarga di dalam kepalamu. Apalagi semua kenangan indah itu menyangkut ibumu.

Tepat sehari setelah pertengkaran hebat  dengan Ayahmu itu, kau langsung jatuh sakit. Demam tinggi dan tubuhmu menggigil. Kata Seokmin kau memanggil manggil ibumu dalam tidur. Seokmin panik, pasalnya ini kali pertama ia melihatmu sakit sampai mengigau menyebutkan nama ibumu.

Beruntungnya kau segera pulih berkat perhatian Seokmin yang merawatmu 24jam. Ia bahkan rela mengambil cuti yang harusnya jatah cutinya sudah habis.

"Hari ini kau cuti lagi?" Tanyamu yang menghampirinya ke dapur.

"Jangan bangun dulu, kau harus banyak istirahat." Balas Seokmin sambil mengaduk bubur buatannya.

"Kau tak menjawab pertanyaanku."

"Gajiku tidak lebih penting dari kesehatanmu, (y/n). Biarlah bosku memotong gajiku sebanyak yang ia mau. Yang terpenting kau sembuh."

"Aku sudah sembuh, Seokmin-ah. Kau tidak boleh cuti lagi atau kau akan dapat surat peringatan."

Seokmin mematikan kompornya sebelum ia berbalik badan dan menatapmu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

"Mungkin saja demammu sudah turun. Tapi apa luka di hatimu juga sudah sembuh? Apa kau bisa menjamin kau tidak akan menangis sendirian ketika aku berangkat bekerja?"

Kau tak bisa menjawabnya. Seokmin benar. Kau pasti akan menangis kembali dan ujung-ujungnya jatuh sakit.

"Kenapa diam? Tidak bisa kan?"

"Tapi Seokmin-ah...."

"Aku akan mengundurkan diri." Sanggahnya.

Kau langsung mendelik menolak idenya itu.

"Jangan seperti itu. Aku akan segera sembuh dan kembali menjadi diriku sendiri. Kau tak perlu sampai mengundurkan diri, Seokmin-ah."

"Kenapa? Apa kau malu punya suami pengangguran?"

Kau menggelengkan kepalamu lebih keras.

"Bukan seperti itu. Hanya saja, aku tak mau terlalu menjadi beban untukmu. Kau telah bekerja selama hampir 5 tahun disana. Aku tidak sebanding dengan pengalamanmu bekerja disana."

"Ya, kau memang tidak sebanding. Karena kau jauh lebih berharga dari apapun di dunia ini."

"Seokmin-ah, tolong jangan seperti ini."

Seokmin menghela napas dengan keras. Kau tak pernah melihatnya begitu gusar. Jelas sekali ia tak puas dengan jawabanmu. Entah mengapa ia terlihat sangat kesal.

"Semua ini karena ayahmu. Jika ia tidak bisa membuatmu bahagia setidaknya jangan membuatmu menangis. Aku benar-benar membencinya sekarang." 

Seokmin melepaskan apronnya dengan kesal kemudian meninggalkanmu yang masih terdiam di dapur. Kau tahu Seokmin kesal karena kau terus saja keras kepala di saat ia telah menunjukan kemurahan hatinya. Tapi kau benar-benar tak ingin menjadi bebannya.

Meski demikian, Seokmin tetap berangkat bekerja. Ia masih kesal denganmu sehingga setelah menyiapkan sarapan untukmu ia langsung pergi tanpa memberikan kecupan singkat yang biasa ia lakukan padamu.

.

.

.

.

.

Hari hari telah berlalu, namun hubunganmu dan Seokmin masih saja dingin. Lebih tepatnya sikap Seokmin padamu. Ia tidak seperti biasanya yang banyak bicara dan suka bercanda. Kau merasa kehilangan semangatmu yang sebagian besar bersumber darinya.

Red Flags [M] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang