Pagi harinya Zeon terbangun dalam keadaan segar. Demamnya sudah turun sebab Sagara memaksanya untuk meminum obat yang sudah diresepkan sang dokter yang semalam datang. Kakinya juga sudah tidak terlalu sakit.
Sudah hampir pukul 7 pagi. Tumben sekali para titan itu tidak menempelinya seperti hari-hari lalu. Biasanya, ketika Zeon membuka mata, salah satu Abangnya sudah berdiam diri menunggunya bangun.
Ah, apakah karena kejadian semalam?
Zeon menggidikkan bahunya acuh. Ia pun turun dari ranjang. Tanpa membasuh wajahnya, ia bergegas pergi menuju lantai bawah untuk sarapan. Perutnya berteriak meminta makan.
Dilorong menuju tangga, Zeon berpapasan dengan Elio yang sudah rapi.
"Kau mau kemana?" Tanyanya pada Zeon. Ia mendekat ragu, takut-takut Zeon bersikap seperti kemarin malam.
"Makan," jawabnya singkat. Ia hendak kembali berjalan namun tangannya ditahan oleh Elios.
"Kau... tidak takut pada Abang, kan?" Tanya Elio penuh harap. Ia sangat tidak nyaman ketika Zeon memandangnya dengan raut ketakutan.
Zeon menggeleng pelan sambil tersenyum tipis, yang dibalas juga oleh pemuda didepannya itu. "Syukurlah. Kau ingin sarapan dibawah?"
Zeon mengangguk, "gendong dipunggung, Bang. Aku malas jalan," kata Zeon sambil merentangkan kedua tangannya.
"Bukankah kau sedang sakit? Mengapa tidak menunggu Abang atau Papa yang mengantarkan sarapanmu?" Elio berjalan menuju lift sambil menggendong Zeon.
"Lama, keburu mati kelaperan kalo gitu," gumamnya kembali memejamkan matanya.
Saat sampai dimeja makan, atensi semuanya teralihkan oleh dua orang itu.
"Zeon, kau sudah merasa lebih baik?" Tanya Sagara ketika Elio mendudukkan anak itu tepat didekat Sagara.
"Ya," angguknya sambil menatap berbinar kearah meja penuh makanan didepannya. "Ze mau itu, dong," tunjuknya kearah ayam utuh yang sudah dipanggang.
"Maid," panggil Zenith kepada maid yang berjajar dibelakangnya.
"Iya, Tuan."
"Singkirkan makanan itu dari meja," perintahnya yang langsung dituruti oleh maid.
"Kan mau aku makan, kenapa malah dibawa?!" Protes Zeon dengan wajah merenggut sebal.
Lalu, Aelius datang dengan wajah tidak berdosanya sambil meletakkan bubur didepan Zeon, "kau sedang sakit. Makanlah ini."
Zeon mendongak, "siapa yang sakit? Aku udah sembuh, tuh. Kan semalem dicekokin obat," ucapnya sambil melirik sinis pada Sagara, sarat menyindir.
"Jangan banyak bicara. Makan," perintah Aelius menyodorkan sesendok bubur.
Perlu diingatkan, Zeon sangat membenci yang namanya bubur. Itu sesuatu yang menjijikan menurutnya. Makanan itu mengingatkannya pada satu hal yang tidak boleh disebutkan.
"Zeon gak suka bubur," ujar anak itu lirih. Sedikit takut akan tatapan tajam yang dilayangkan Aelius padanya. Itu kembali mengingatkannya pada mimpi buruk semalam.
"Abang tidak meminta alasanmu. Ayo makan, haruskah kejadian minum obat semalam kembali terulang?" Tanya Aelius tajam.
Dalam hati Zeon menyumpah serapahi Aelius, pun juga yang lainnya. Zeon mencoba menatap permohonan kepada Papa-nya atau pada Archer yang selalu membelanya, namun mereka seakan tidak peduli dan malah melahap sarapannya dengan santai.
Zeon mendengus lalu mau tak mau ia memaksakan bubur itu masuk kedalam mulutnya.
"Anak pintar," puji Aelius sembari menepuk puncak kepala Zeon.
Sialan! Dikira gue anjing apa?
Anak itu hendak turun dari kursinya, namun dengan cepat si Aelius titan brengsek— kata Zeon— yang duduk disampingnya itu sigap menahannya. Lelaki itu juga membekap mulut Zeon sambil menatap tajam, "telan."
Dengan menahan mual yang sangat-sangat, Zeon terpaksa menelan bubur itu sampai-sampai tak sadar air matanya keluar.
"Habiskan."
Siapapun tolong bawa gue pergiiii!!!
***
Zeon rasanya ingin kabur saja saat Archer mengatakan bahwa hari ini mereka akan menghabiskan waktu berdua. Papa dan Abang yang lainnya pergi dengan urusan masing-masing, meski pada awalnya enggan meninggalkan Zeon.
Kedua remaja itu kini sedang duduk santai ditepi kolam dengan kaki yang terjulur berendam. Archer sibuk menyuapi buah untuk Zeon yang diterima baik oleh anak itu.
"Bang Archer," panggil Zeon.
"Hm?"
"Ceritain tentang Abang, dong. Aku pengen tau," katanya memulai topik. Ia mulai risih ketika Archer tidak melepaskan pandangan pada wajahnya.
Archer menusuk buah apel lalu menyodorkannya kepada Zeon, "mengapa kau ingin tahu?"
Zeon menoleh, "emang gak boleh?" Lalu membuka mulutnya kembali menerima suapan Archer.
Sang Abang menggeleng pelan, "tidak ada yang menarik dari hidup Abang untuk diceritakan."
Anak itu mengerutkan keningnya, selepas kemudian ia menarik diri untuk mendekatkan wajahnya pada wajah Archer, "masa, sih?"
"Memangnya kau ingin tahu apa, hm?" Ia terkekeh pelan melihat raut didepannya itu, sangat menggemaskan. Inginnya mencuri satu kecupan di hidung Zeon, tapi adiknya itu dengan gesit malah menjauhkan wajahnya.
"Abang pernah ngapain aja selama jadi anak mafia?"
"Hanya bermain."
"Hah? Main? Maksudnya main?" Zeon kembali mendekatkan wajahnya pada wajah Archer yang membuat lelaki itu menggeram pelan. Lalu tanpa ingin melewatkan kesempatan lagi, ia pun mengecup cepat pucuk hidung sang adik yang dibalas delikan oleh anak itu. Archer hanya terkekeh puas.
"Ya, bermain. Kadang Abang bermain bola menggunakan kepala, bermain tembak-menembak atau panahan, bermain kelereng bola mata, bahkan Abang pernah bermain masak-memasak bersama pengawal saat Abang kecil dengan bahan jeroan manusia," katanya sambil terkekeh. "Itu sangat menyenangkan. Kau ingin mencobanya bersama Abang?" Lanjutnya sambil menoleh pada Zeon.
Zeon mengerjapkan matanya tidak percaya.
"OGAH! NGERI BANGET ANJIM MAINNYA ELU. GUE— m-maksudnya ab-abang mainnya serem. J-jangan ajak Zeon, Ze-zeon gak mau main sama Abang kalo Abang mainnya gituan."
"Kenapa? Bukankah itu seru?"
Zeon mengumpat dalam hatinya, lubang idung lo dua begituan seru! Sialan anjir si Archer gue kira anak baik tapi ternyata orang gila.
"Itu gak normal buat dilakuin sama anak-anak, bahkan sama manusia dewasa sekalipun. Tolong, ya, yang tadi Abang ceritain itu unreal banget, aku liat di film-film aja gak sesadis itu," ujar Zeon menyerobot tak santai.
Archer mendengus, "di film itu hanya karangan. Mereka tidak pernah meriset terlebih dahulu apa yang sebenarnya dilakukan oleh mafia yang sebenarnya. Bukankah membunuh seseorang adalah hal yang wajar? Mengapa kau seperti baru pertama kali mendengarnya?"
Zeon terdiam ditempatnya. Berusaha untuk tidak berteriak mengumpat didepan wajah Archer yang kini menatap santai kearah depan. Mengapa bisa ia harus terlahir dari keluarga sikopet gila seperti keluarga Virendra ini? Padahal dulu ia selalu berkhayal jika mungkin saja ia adalah anak dari Raffi Ahmad atau Deni Cagur, atau bahkan anak dari Andre Taulany.
Tapi memang hidup sebercanda itu.
"Tapi Abang gak akan bunuh Zeon, kan?"
Archer menoleh, kemudian ia tersenyum miring, "tergantung."
***
suka banget bikin kalimat gantung disetiap chapter terakhir.
jedag-jedug gak tuh jantung si Zeon HAHAHHH

KAMU SEDANG MEMBACA
ZEON ALTAIR
HumorZeon Altair Virendra "Ucapkan selamat tinggal pada kebebasan mu."