5

4.2K 291 1
                                    

Sejak pertama kali bertemu dengan keluarganya, Aelius adalah orang yang begitu ingin Zeon hindari. Karena menurut penglihatannya, Zeon merasa jika Aelius itu tidak menyukainya. Pemuda itu bahkan selalu menatapnya tidak ramah.

Dan kali ini Zeon sama sekali tidak bisa menghindar atau bahkan berlari. Jika saja itu bisa, kemungkinan besarnya hanyalah 0.01% dari 100.

Aelius membawa Adik bungsunya itu ke kamarnya. Mengunci pintu dan sama sekali tidak melepaskan gendongan Zeon. Pemuda itu hanya duduk sambil memangku Zeon, menatap sang Adik tajam.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Tanya Aelius dingin.

Perasaan Zeon gelisah. Ia sudah membayangkan akan bagaimana kondisinya nanti setelah keluar dari kamar titan satu ini. Mungkin jika nyawa saja yang hilang itu lebih baik daripada salah satu anggota tubuh atau organ dalamnya tercabut. Itu mengerikan, dan Zeon sama sekali tidak sanggup membayangkannya.

"Jawab!" Ulangnya membuat Zeon tersentak.

"P-pengen p-pipis, hikss.." lirih Zeon.

Sungguh, demi dewa kerang ajaib, Zeon benar-benar ketakutan. Ia sendiri juga heran, kemana sifat 'si ketua geng yang pemberani' nya itu? Mengapa saat ini hanya ada Zeon yang mudah menangis?

Aelius tersenyum tipis. Wajah ketakutan Zeon begitu lucu dimatanya. Lalu ia bangkit, masih ada Zeon yang di gendong nya. Ia membawa Zeon ke kamar mandi.

Setelah mendudukkan Zeon di kloset, ia pun berbalik. Tidak berniat keluar, takutnya adiknya itu kesulitan dan membutuhkan bantuannya karena kaki anak itu juga diperban akibat terjatuh dari tangga barusan.

Zeon inginnya mengusir Abangnya itu. Namun ia tidak berani, jadi ia berusaha untuk tidak peduli meski perasaan malu menghinggapi jiwanya.

"Jangan ngintip," lirihnya tidak memiliki tenaga.

"Hm," Aelius bersedakap, lalu setelah mendengar air mengalir ia kembali bersuara, "sudah selesai?"

"Udah," balas Zeon pelan.

Aelius berbalik, lalu kembali menggendong Zeon dengan hati-hati. Ia mendudukkan Zeon di ranjangnya kemudian menatap intens sang adik.

Yang ditatap hanya menunduk.

"Kau takut pada Abang?"

"Nggak," jawabnya sambil mengangguk. Lah?

Aelius kembali tersenyum tipis, "jadi kau takut atau tidak?"

"Iy— eh nggak."

Tangannya mengusap lembut kepala adiknya, "kau tau apa kesalahanmu kali ini?"

Zeon hanya semakin menunduk dalam. Sepertinya Aelius tidak seperti apa yang ia pikirkan sebelumnya. Mungkin cara menatapnya saja yang terlihat menyeramkan, aslinya ternyata dia begitu perhatian.

"Jawab."

"Bangun kesiangan, membuat rusuh, berantakin rumah, dan... Om Josh," jawab Zeon menyebutkan satu persatu kesalahannya.

"Lalu?"

"Udah."

"Kau yakin?" Tanya Aelius lagi. "Jika ada yang mengajakmu berbicara, tatap orangnya."

Zeon dengan cepat mengangkat kepalanya. Menatap Aelius yang juga tengah memperhatikannya.

"Apa menurutmu kami tidak tau apa yang kau laukan dan kau katakan pada Josh, hm?"

Zeon mengerjap tidak mengerti. Aelius menghela nafasnya berat, "Abang mengerti, sulit untuk meninggalkan kebiasaan mu sebelum kau berada disini. Tapi, kau seharusnya tau bagaimana caranya bersikap kepada yang lebih tua."

"Kau berteriak kepada Josh, mengumpatinya, bahkan berlaku kasar padanya. Kau pikir kami tidak tau tentang kehidupan mu diluar sana? Bahkan dari kau tertidur hingga kembali bangun, kami tau. Lantas, apa kau tidak mau berubah?"

"Maaf, hikss.. Jangan marah, Zeon janji akan berubah," ucapnya sambil menangis.

"Kau bahkan sudah ribuan kali mengatakan hal itu kepada Bibi Tisa, tapi kau tetap mengulanginya," dengus Aelius tidak percaya.

"Kali ini beneran," ucap Zeon meyakinkan.

"Buktikan," kata Aelius menatap dalam Zeon. Yang ditatap salah tingkah.

"Eh?"

Aelius mengambil sebuah pistol dari balik lacinya, lalu mengarahkannya pada cermin yang memantulkan dirinya dan juga Zeon.

Dor!

Prangg!

Begitu saja. Aelius menembak cermin itu hingga pecah. Sedang Zeon yang melihat itu membeku. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin mulai bermunculan. Ia menarik kembali ucapannya mengenai Aelius yang perhatian. Tidak, justru Aelius sangat mengerikan.

"Jalani hukumanmu."

Maksudnya hukuman yang dimaksud adalah Zeon yang akan bernasib sama seperti cermin itu? Gila, benar-benar gila. Mereka betulan sikopet.

Gimanapun caranya, gue harus kabur dari sini.

***

Zeon yang biasanya antusias ketika makan, kini hanya memandang piringnya dengan pandangan tidak berselera. Kejadian bersama Aelius tadi tidak bisa tidak ia pikirkan.

Lihatlah, bahkan Aelius sendiri bersikap santai seolah tidak pernah melakukan hal buruk kepada Zeon. Aelius, kalo aja gue gak takut sama Lo, udah gue colok mata lo pake garpu.

"Kau tidak suka makanannya?" Tanya Sagara pada Zeon. Membuat anak itu tersadar dari lamunannya.

"Ah, suka kok," balasnya kikuk lalu memaksakan makanan itu masuk ke dalam mulutnya.

"Apa yang sudah kau lakukan padanya tadi?" Tanya Elio pada Aelius. Ia curiga, sebab sikap Zeon berubah menjadi lebih pendiam setelah keluar dari kamar Aelius.

"Kau berharap aku melakukan apa memangnya?" Tanya Aelius balik, ia kembali memasukkan potongan daging kedalam mulutnya. Matanya hanya melirik pada Zeon.

"Suara tembakan itu? Berasal dari kamarmu, kan?" Tanya Zenith.

Archer membulatkan matanya, lalu ia bangun dari duduknya. Menghampiri Zeon yang tengah memperhatikan saudaranya.

"Dia melukaimu?" Tanya Archer khawatir, ia memeriksa setiap inci tubuh Zeon membuat anak itu tersentak. Tidak menemukan luka baru pada tubuh adiknya itu juga ditambah dengan gelengan Zeon membuat Archer menghela nafas lega.

"Aku hanya memberitahu gambaran hukuman apa yang akan dia terima, itu saja," sahut Aelius lagi.

Sagara yang duduk dekat dengan Zeon pun mengelus kepala anak itu, "beritahu Papa jika ada sesuatu yang mengganggumu."

Zeon mengangguk kaku. Lalu ia kembali melanjutkan makan malamnya.

***

pepatah untuk zeon saat ini: habis terang, terbitlah gelap HAHAHAHAHH

ZEON ALTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang