6

4.2K 279 3
                                    

Zeon memberontak. Kedua tangannya direntangkan dan diikat oleh tali yang terhubung dengan masing-masing tiang. Kakinya juga dirantai dalam keadaan ia berdiri. Peluh membasahi seluruh tubuhnya yang tidak dibalut apapun kecuali celana tidur yang kemarin belum sempat ia ganti.

"Mengapa hanya bisa menangis? Kemarin sepertinya kau terlihat berani?" Tanya Aelius dingin.

Zeon menunduk, menggigit bibir bawahnya menahan isakan. Keluarga nya yang lain hanya menonton dirinya seolah ia adalah sebuah pertunjukan yang menyenangkan.

"Anak ini," geram Aelius. Ia mencengkram pipi Zeon, memaksa anak itu untuk bersitatap dengannya. Dapat dilihat wajah acak-acakan Zeon yang memprihatinkan. Darah segar mengalir dari bibirnya yang terluka akibat menggigit nya terlalu kencang.

"Maaf," lirih Zeon ketakutan.

"Semakin hari kau semakin nakal, tidak tau diri dan berandalan," desis Aelius menahan amarah.

"Kau menganggap kami ini apa? Manusia remeh yang bisa kau ajak main-main layaknya bocah, heh?"  Ucap Aelius lalu melepas cengkraman itu dengan kasar.

"Hikss.."

"Kau terlalu banyak basa-basi, kak," sahut Elio yang ikut menghampiri Zeon. Ia meneliti tubuh anak itu dari ujung kepala sampai kaki, lalu menggeleng kasihan.

"Setidaknya, dia harus mengetahui tata krama sebelum menemui Mama. Akan sedih jika anak ini mati dengan membawa sifat buruknya," balas Aelius dingin.

Zeon mengangkat wajahnya yang tertegun. Ia akan mati beberapa menit lagi. Memangnya apa yang harus ia harapkan dengan keluarga barunya ini? Berharap diberi kasih sayang yang melimpah ruah? Dijadikan anak kesayangan?

"Biar aku," ujar Archer mengambil penembak.

Dorr!

"Zeon?"

Zeon terkesiap dari tidurnya. Matanya terbuka lebar, tubuhnya juga basah oleh keringatnya sendiri. Selain itu, nafasnya juga terengah-engah kelelahan.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Sagara hati-hati. Tadi, ia berniat memeriksa putra bungsunya itu sudah tertidur atau belum, namun ketika melihat Zeon yang begitu gelisah dalam tidurnya itu membuat Sagara khawatir. Apalagi dengan igauan dan erangan kesakitan, Sagara benar-benar merasa cemas.

Zeon mendongak, mengerjap melihat semua anggota keluarganya kini tengah mengelilinginya dengan pandangan yang tak biasa. Zeon bergerak mundur hingga mentok pada kepala ranjang.

"N-nggak, to-tolong lepasin. Aku gak mau disini, aku mau pulang, hiks.." Isak Zeon merasa ketakutan. Matanya bergerak liar memandang semua Abangnya. Mimpi itu, betul-betul seperti nyata.

"Hey, hey, baby. Tenang, kau akan aman. Papa tidak akan membiarkan orang-orang menyakitimu," ucap Sagara lembut. Ia berusaha meraih tubuh Zeon untuk didekap. Meski sempat berontak, akhirnya anak itu sedikit tenang saat Sagara memeluknya hangat.

"Papa, hikss.."

"Ya, Papa disini."

"Dek—"

"Nggak! Gak mau! Pergi sana pergi!" Pekik Zeon terancam ketika Archer mendekatinya. Ia beringsut semakin mengeratkan pelukan pada Sagara.

Archer mengerjap tidak percaya. Ada apa dengan adiknya itu? Mengapa ia ketakutan kepadanya? Archer menatap Papa-nya.

"Sssttt, tenang sayang, tenang. Tidak apa-apa, itu hanya Archer, dia Abangmu. Dia tidak akan menyakitimu," ucap Sagara, namun Zeon semakin terisak.

Sagara memberi kode kepada Zenith untuk segera memanggil dokter keluarga. Ia bisa merasakan bahwa tubuh Zeon tengah terserang demam.

"Kalian keluarlah, biar Papa yang mengurus Adik," titah Sagara pada anak-anaknya. Keempat saudara itu hanya menghela nefas berat, mereka benar-benar sangat khawatir dengan Zeon.

ZEON ALTAIR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang