15. BP [Limolas]

35 3 0
                                    

Selamat malam.
Semoga terhibur.

Busung_Pocong
👁👁

***

Wati terbangun ketika mendengar ayam peliharaannya berisik di kandang, dia kemudian melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 22.15 WIB.

Ternyata dia tertidur ketika menenami Bagus nonton acara televisi, sekarang putranya itu sudah terlelap di sampingnya.

Wati lekas bangun, dia melihat ruang tamu masih terang. Itu tanda jika Karno belum pulang. Seingatnya tadi sang suami pamitan ke pos kamling, katanya nonton siaran sepak bola bareng teman-temannya di sana.

Dia tidak terkejut, hampir setiap hari Karno pulang di atas jam sebelas malam. Di dusunnya memang diadakan jaga malam, setelah beberapa kali warga kehilangan ayam bahkan dalaman juga pernah.

Selepas mematikan saklar lampu, juga menutup kelambu. Wati kembali berbaring di samping Bagus, mengganti chanel televisi dengan film yang menarik.

Tidak lama, baru sepuluh menit. Wanita baya itu tidur kembali bahkan tampak mulutnya sedikit terbuka.

***

"Gol!"

Sorak bahagia terdengar dari pos kamling, di sana ada sekitar 15 orang asyik nonton siaran sepak bola. Mereka berjingkrak ketika gol kedua tercipta.

"Mantep tenan, ayo, libas terus jangan kasih ampun!" teriak Zainul, tampak sekali semangatnya berkobar-kobar.

Karno memerhatikan teman perkumpulannya, di sana juga ada Pak RT yang bersekongkol dengan Zainul dan Wanto. Suaranya paling keras, kesal ketika bola mudah direbut lawan, gagal mencetak gol bahkan ketika pemain lawan drama jatuh di lapangan.

Sesekali lelaki berkumis itu meminum kopi, kemudian menyantap kerupuk upil dengan sambal petis yang didapat secara gratis dari Pak RT.

Sangking fokusnya mereka nonton, Karno yang pergi pun tidak ada yang tau. Lelaki itu berjalan cepat, setelah sadar waktu hampir tengah malam.

***

Perasaan Narsih tidak enak, sejak tadi dia tidak bisa tidur. Beberapa kali mencoba pindah posisi pun sama saja, itu gara-gara sempat minum kopi tadi sore.

Akhirnya dia memutuskan untuk bangun. Berhubung perutnya lapar, dia pun berniat membuat mie instan kuah pedas. Mungkin saja dengan ini, dirinya bisa tidur nyenyak.

Tidak butuh waktu lama, Narsih menuju ruang tengah. Makanan telah siap santap, tampak mengepul dengan aroma soto tercium nikmat. Lekas saja, wanita itu menyantap ditemani kerupuk uyel juga televisi yang menayangkan berita malam.

Mie yang masih panas membuat pedas terasa berkali lipat, seringnya Narsih menghidu ingus kemudian lanjut makan lagi hingga tandas.

Ketika berniat ke dapur, Narsih dikejutkan dengan suara gagak. Burung itu bercuit kencang sampai tiga kali, seolah tepat berada di atas genting rumahnya. Tidak lama kemudian, terdengar kepakan sayapnya meninggalkan tempat.

"Astagfirullah, kenapa ada suara burung malam-malam," sahut Narsih pelan, lalu mengusap dada. "Bikin takut saja, sih."

Entah kenapa, tiba-tiba perasaan takut itu datang. Narsih pun tidak jadi ke dapur, setelah mematikan televisi kakinya segera melangkah ke kamar.

***

"Urip iku mati, mati sejatine urip. Seng melbu teko cangkem, seng metu teko dalan buri. Sak estu nyuwon adil. Ya, Gusti seng damel panguripan. Urip iku mati, mati sejatine urip ...."

Mbah Singo terus membaca mantra hingga tujuh kali. Selesai itu dia membuka mata, lalu menaburkan kemenyan ke tungku bara api. Sekejap kemudian asap mengepul, aroma khas menyebar ke bilik yang berpenerangan minim.

"Opo syarat seng tak jalok wes, kok, gowo?" tanya Mbah Singo.
(Apa syarat yang aku minta sudah kamu bawa?)

"Iya, Mbah. Ayam cemani sama tanah bekas pijakan."

Mbah Singo mengangguk, lalu meminta syarat tersebut. Dia pun menaburkan tanah bekas pijakan ke tungku, kemudian dilanjutkan menyembelih ayam cemani yang darahnya langsung menetesi bara api.

Cuitan ayam seolah tercekik, membelah sunyinya malam berbaur dengan keriet batang-batang bambu yang terembus angin.

Lelaki berkumis itu tampak datar, netra kedengkian jelas ketika melihat bagaimana darah cemani menetes ke bara api.

Tanpa dia sadari, sosok berperut buncit berdiri di belakangnya. Kafan yang membungkus tampak lusuh, wajahnya kisut kering kecokelatan seolah hanya kulit yang menempel pada tulang.

Sosok tersebut meringis, hal itu membuat gusi yang bergigis hitam terlihat. Matanya melotot, menunjukkan kedua bola mata yang putih.

Menyeramkan, sungguh. Sering kali dengkusan keluar dari hidung yang masih tersumpal kapas. Kalau diibaratkan, dengkusan tersebut hampir sama halnya dengan dengusan sapi jika kalian tau. Syarat akan emosi, tegas seolah menunjukkan bahwa sosok tersebut kuat dan siap menjalankan tugas.

"Ya, sebentar lagi apa yang aku inginkan bakal terwujud," ujarnya dalam hati. "Narsih, sudah takdirnya kamu begini."

Mbah Singo mengambil pisau, membelah ayam yang sudah mati tersebut dengan mudah. Kemudian menarik kedua sisi sehingga menimbulkan kemeletuk tulangnya yang terbelah semakin lebar.

Aroma amis kian semerebak, bersama itu organ dalam pada ayam tampak keluar. Mbah Singo, lekas mengambil hatinya sembari berkata, "rebus dan berikan pada wanita itu. Kemudian air bekas rebusan, buang di setiap pojok rumahnya."

"Enjeh, Mbah."

"Ingat, pastikan dia memakannya," ujar Mbah Singo tegas.

***

Busung_Pocong
👁👁


Jangan lupa vote.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang