Arrhythmogenic Right Ventricular Cardiomyopathy (ARVC) kardiomiopati ini terjadi akibat adanya jaringan parut di otot bilik kanan jantung. Kondisi ini dapat berakibat denyut jantung tidak beraturan. Jenis ini diduga disebabkan oleh adanya kelainan pada genetic. Yaitu kondisi ketika jantung mengalami peradangan dan otot jantung melemah. Bila dibiarkan tanpa penanganan, bisa terjadi gagal jantung kongestif, yakni jantung tidak mampu memompa darah yang sangat dibutuhkan tubuh. Setidaknya itulah yang dirasakan laki laki berusia 17 tahun itu.
Namanya Edwin Chandra Valentino. Laki laki jangkung pemilik marga Valentino ini adalah si bungsu kesayangan keluarganya. Ia memiliki keluarga yang humoris, tentu saja tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini termasuk Edwin. Walaupun ia memiliki keluarga yang humoris, kakak kakak yang peduli kepadanya, namun tidak menjamin hidup nya akan sama seperti cerita novel pada umumnya.
Sedari kecil Edwin sudah hidup dengan ketergatungan mesin. Berawal saat usia nya baru menginjak 5 tahun, Edwin selalu mengeluhkan sakit dada dan sesak nafas. Awalnya ia hiraukan karena menurutnya itu adalah hal biasa jika ia kelelahan. Namun saat ia sedang bermain bola bersama saudara saudara nya, Edwin tiba tiba pingsan. Tentu saja hal itu membuat panik satu keluarga, ia cepat cepat dibawa ke rumah sakit lalu di nyatakan lah bahwa ia memiliki penyakit ARVC. Hal itu membuat kedua orang tuanya sedih, mengapa penyakit ini baru ketahuan saat ia berusia lima tahun? Itu menjadi beban hidup berat yang harus di tanggung anak sekecil Edwin.
Namun kedua orang tuanya tidak patah semangat, mereka terus mencari pengobatan kesana kemari demi kesembuhan putra bungsu mereka. Bahkan keduanya harus pergi ke amerika untuk perawatan Edwin lebih lanjut.
Bahkan ketika hendak melakukan tranplantasi, tubuhnya enggan menerima organ baru sehingga malah membuat Edwin semakin menderita. Ia terus menangis sampai sampai keadaannya kembali drop dan memang tidak bisa terlepas dari mesin dan tabung oksigen sampai usianya 10 tahun, keadaannya cukup membaik walaupun terkadang untuk berlari saja ia kesulitan.
Saat kecil Edwin tidak punya teman karena penyakit yang di dideritanya....
🥀🥀🥀 🥀🥀🥀 🥀🥀🥀 🥀🥀🥀 🥀🥀🥀
"Abang... Sakit ... Edwin... Gak kuat... Hhh... Hhh... Hhh ... Ssakit...."
Tep.
Edward, yang berstatus kakak sulung itu kembali memejamkan matanya ketika mengingat kembali Edwin yang terus menangis sambil meremas bajunya. Jujur saja, perkataan si bungsu bahkan memori itu tidak bisa ia lupakan, selalu saja terputar di otaknya.Ia pun menatap langit malam lalu menyalakan sebatang rokok yang sengaja ia simpan di saku jas dokternya. Satu batang saja tidak akan membuat Edward mati kan? Begitu pikirnya. Ia ingin mencoba tenang sejenak sebelum kembali menemui Edwin lagi. Dihisapnya batang rokok itu lalu ia hembuskan asap itu ke udara, yah... Sedikit tenang.
Tep.
"Hayoooh... Ketauan... Ada dokter yang nggak jaga kesehatan nih." Seseorang memegang pundak Edward dari belakang, suara itu tidak asing di telinga nya. Ia pun menoleh lalu tersenyum dan memegang tangan lembut nan kecil itu.
"Sebatang aja, janji." Kata Edward memohon padanya.
"Iya... Sebatang nya itu hari ini... Besok besok pasti ngerokok lagi." Ia pun duduk di sebelah Edward dan tersenyum manis.
"Maafin aku ya, aku baru bisa dateng sekarang,"
"Gak papa... Aku paham kok, kamu sibuk aku juga sibuk. Kita udah lama gak ketemu, jadi... Bukan waktunya kita berantem karna hal kecil." Jawab Edward dewasa. Perempuan satu ini namanya Mikailla, ia lebih akrab dipanggil Kai oleh Edward sebagai panggilan kesayangannya. Mereka sudah menjalin hubungan hampir 5 tahun.
"Aku turut sedih denger kondisi Edwin. Tadinya aku mau masuk ke kamarnya, cuma ngeliat Edwin lagi tidur, aku jadi gak tega buat bangunin dia." Ucap Kai sambil mengelus tangan Edward, ia tahu penyebab Edward merokok. Tidak lain ya karena stress memikirkan Edwin.
"Hmm... Edwin ngeluh minta pulang. Cuma ngeliat kondisi dia yang bahkan baru juga lepas dari tabung, kebanyakan ngobrol aja udah sesek lagi. Apalagi kalo misalnya aku bawa dia pulang ke rumah, " Kini Edward sedang berusaha menceritakan keluhan Edwin pada Kai. Sang empu mengangguk paham, pasti berat baginya melepas Edwin, namun di sisi lain berat juga beban yang di tanggung Edwin.
"Nah, gimana kalo gini—" Kai membisikan sesuatu sampai Edward mengerutkan dahinya. Bingung dan ragu dengan saran Kai ini, ia pun menatapnya kembali. " Yakin?" Tanya Edward lalu dibalas anggukkan dengan cepat.
"Yap! Dulu kakak aku juga kayak gitu,"
"Hmm... Makasih buat sarannya. Kamu emang yang terbaik," Edward lalu menepuk pucuk kepala Kai. Sedikit kecewa bagi Kai, karena ia belum pernah memeluk pria jangkung nan dingin ini. Edward hanya selalu melakukan pegangan tangan, menepuk dan mengusap kepala Kai. Hiks, sedih banget kan? Sama Author juga:)
🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀
"Bunda... Kira kira gimana baik nya? Adek pengen pulang, Nunna gak tega liat adek gini terus," Ucap Nunna pada bunda nya. Bunda diam sambil memandangi Edwin yang tidur dengan gelisah, selalu seperti itu. Ia tak pernah melewatkan tidur dengan tenang. Bunda pun mengecup kening putra bungsu nya lalu tersenyum pada Nunna.
"Iya... Nanti kita denger keputusan bang Edward ya? Gimana baik nya kita tanyain ke bang Edward. Kan bang Edward dokternya, " Jawab Bunda sambil mengusap lembut sutra indah milik Nunna. Nunna pun mengangguk cepat dan tersenyum juga, "Edgard mana ya bun? Kok daritadi sore nggak liat."
"Sekarang jadwal nya Edgard patroli, jaga adek kedua kamu di rumah. Bahaya kalo dia nggak di jagain, " Jawab bunda lagi, Nunna paham betul apa perkataan bunda nya ini. Ada ada saja, patroli katanya.
"Mmmhhh..." Suara lirih itu berhasil membuat atensi keduanya teralihkan lalu menatap sang empu. Bunda buru buru menghampiri Edwin dan mengelus tangan nya yang di infus.
"Iya dek...? Adek mau apa...? Bilang sama bunda,"
"Uuuhhh... Sakiit... S,sakit... Dada... Nya..." Hembusan nafasnya menyisakan uap di masker oksigennya. Sang empu membuka sedikit netra nya lalu menatap bunda nya sambil meringis kesakitan.
"Dadanya sakit?" Tanya Bunda yang di beri anggukkan oleh Edwin. Bunda pun mengelus dada kiri Edwin dengan lembut sambil sesekali menatap Edwin.
"Nunna, tolong panggilin bang Edward, bilang kalo pengaruh obatnya udah mulai abis." Nunna pun berlari keluar ruangan dengan cepat.
"Mau pulang... Edwin... Capek... " Keluh Edwin pada bunda nya. Bunda kembali tersenyum, ia tidak bisa berjanji pada anak bungsunya ini.
"Iya... Bunda ngerti kok... Kamu bakal sembuh... Nanti kita pulang, oke?"
"Janji... Ya...? Bunda... Gak boong... Kan...?"
"Nggak, Bunda gak boong. Nanti kita pulang, kita kumpul bareng bareng lagi kayak dulu," Ucapan bunda sungguh membuat Edwin tersenyum tipis di balik masker oksigennya.
The end
KAMU SEDANG MEMBACA
EDWIN
Teen FictionHanya kisah tentang seorang anak laki laki yang harus berjuang agar bisa menggapai semua impian dan cita citanya. Tentu saja, siapa yang tidak ingin hidup dengan tubuh sehat dan sempurna? Ia iri dengan orang orang, bisa berlari kesana kemari, bermai...