6 : Kostan Madafa

2.6K 205 9
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam dan itu artinya Putia harus bergegas bersiap pulang. Tapi pergerakan dari Ransi yang tiba-tiba beranjak mendapat telepon dari entah siapa membuat pria itu lebih dulu pulang dan menitipkan bestienya pada si manusia organisasi.

”Gue oper ke Roman ya, bun. Sorry nih, urgent.”

”Santai aja, banyak grab.”

Setelah tos ala-ala, Ransi pun pergi keluar dari area cafe sembari melambaikan tangan pada Irwan, si owner DukaLara.

”Bahaya udah malem, Put. Pulang sama gue aja.”

”Bener gapapa?” tanya Putia.

”Yo.”

Memang saat keluar dari rumah, Ransilah yang menjemput. Dan sekarang ia justru pulang bersama Roman, di dalam kendaraan beroda empat berbodi besar dan hitam. Keduanya sempat diam sebelum Putia melayangkan pertanyaan.

”Kapan balik ke Kalimantan, Man?”

Memulai obrolan, Putia melirik sekilas pada temannya itu yang fokus menyetir. Suara radio sayup-sayup terdengar dengan volume kecil, membiar agar suasana tak canggung.

”Gak bakal, Put. Nanti berangkatnya paling ke Sumatera.”

”Wah, keren ya jadi anak sipil!” seru Putia.

”Sa ae, bumil!”

Keduanya lantas tertawa, ”gue rada nyesel deh sama jurusan yang gue pilih dulu,” curhat Putia mengingat pekerjaannya tak jauh-jauh dari layar komputer setiap hari. Selain bikin sakit mata, seperti tak ada spesialnya ketika sudah merasakan secara langsung. Tidak seperti Ransi yang nanti bekerja dibalik seragam berbintang dan jubah Jaksa, seperti Roman yang kerjanya di lapangan pakai rompi. Keren deh!

”Kenapa, Put? Tapi nikah sama Jengga gak nyesel kan haha.”

”Enggaklah kalau itu,” Putia tertawa ringan.

” ... Gue kuliah kayak asal sarjana gitu mikirnya, paham lah ya. Jadi gue gak bener-bener tau passion gue tuh apa sih haha.”

”Satu frekuensi banget ya berarti sama suami, Put?”

”Kalo Jengga udah pada jalannya kuliah dia mah, tapi pegang perusahaan bikin puyeng katanya. Makanya nungguin Tyas.”

”Tyas? Oh yang di Instagram suka pake baju seksi.”

”Jangan gitu, adek gue.”

Putia mendorong bahu Roman pelan. Jujur saja, ia rada-rada lupa mengingat tak pernah bertemu setelah makan-makan di rumah saat Putia baru keluar dari rumah sakit dulu.

” ... Haha sorry-sorry, gue ketularan julid.”

”Beneran mau terjun politik emangnya?”

Putia mengedikan bahu, pasal ini keduanya memang sudah berbincang tapi— ”Jengga mau lanjut S2 dulu sih, Man.”

”Oalah, i see. Terus lo ikut?” tanya Roman lagi.

”Iya, kayaknya ikut.”

”Jadi susah ketemu dong,” kekeh Roman.

”Dari dulu juga udah susah ketemu, apalagi lo tuh jauh.”

”Kalimantan doang, Put.”

Obrolan mereka terinterupsi ketika ponsel Putia berdering nyaring. Roman melirik sekilas dan kembali fokus menyetir.

”Iya, Daf.”

”Kak Puput bisa ke kostan gue gak?” tanya Madafa di sebrang sana. Terdengar merintih kedinginan, seperti tengah demam.

GAPUT: After MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang