19 : Menteng dan Cafe

1.9K 151 14
                                    

”Terima kasih buat gak meminta pisah dari Kael, put.”

Putia tersenyum ketika Papi mertuanya memeluknya sekilas seraya mengusap bahunya, menenangkan sang menantu jika seandainya hal ini terjadi kembali, maka Jenggala lah yang harus keluar dan pergi dari rumah ini.

Pagi sekali tiga orang itu datang ke rumah ketika mendengar Putia akan mengantar Jenggala langsung ke tempat rehabilitasi. Guntur dan Pasha tentu senang karena Putia rupanya masih bersedia melanjutkan rumah tangga bersama anak mereka.

”Yasudah berangkat sana, nanti kesiangan.”

Jenggala menyugar rambut tak berani menatap sang Papi.

Putia melambaikan tangan pada Jeandra yang berdiri di samping Pasha dengan sekotak susu, bocah itu ingin ikut dan jelas saja tidak diperbolehkan. Lagi pula, keduanya bukan hendak jalan-jalan melainkan pergi ke tempat rehabilitasi Jenggala yang ada di daerah Menteng.

Dekat memang, tapi Guntur tidak memperbolehkan anak bungsunya itu ikut bersama kakak dan kakak iparnya.

”Jadinya berapa lama nanti kamu disana?”

Putia duduk dibalik kemudi, sebenarnya Jenggala tidak mengizinkan namun gadis itu tetap memaksa bahkan pembicaraan pagi ini siapa yang menyetir sudah di bicarakan dari semalam. Jenggala bersandar sesekali menciumi bahu Putia.

”Sebulan.”

”Lama banget, rawat inap?”

Jenggala menganggukkan kepala, berat baginya namun ia juga ingin cepat sembuh dan kembali ke rumah dengan keadaan sehat. Putia menghela nafas berat seraya mengusap perutnya.

”Gak bisa lebih cepet lagi?”

Jenggala tersenyum, ”itu udah paling singkat.”

”Oh.”

Putia membulatkan bibir dan tidak bertanya lagi, ia fokus menyetir meski jujur ia tengah membayangkan ketiadaan Jenggala di rumah sebulan ke depan. Putia ingin Jenggala sembuh, ia ingin pria itu kembali di saat dirinya mulai menerima segala apa yang terjadi akhir-akhir ini. Namun, mendengar Jenggala sampai mengonsumsi narkoba dan akan di rehabilitasi membuat Putia merasa bersalah. Rongga dadanya sesak mengetahui Jenggala menyentuh barang haram itu.

”Kamu hati-hati ya di rumah.”

Melirik Jenggala sekilas, Putia menjawab dengan berdeham.

”Kalo butuh apa-apa, minta tolong sama Ra ... ”

”Aku bisa minta tolong sama Dafa.”

Putia tersenyum mengusap pipi Jenggala ketika mendengar nada suara pria itu parau, mengecup bibirnya singkat Putia kembali menjalankan mobil ketika lampu merah disana sudah berganti warna.

”Makasih ya, Put.” ucapnya tiba-tiba.

Putia mengangguk tanpa menoleh seraya mengusap bawah pipinya. Berat rasanya, ketika baru saja berbaikan, ia harus menelan pahit dan terpaksa menerima kenyataan jika Jenggala harus di rawat inap dan ia tidak bisa menemani di sana.

”Nanti aku nengokin kamu sesering mungkin.”

Jenggala tersenyum, ”gak usah maksain, aku tau kamu butuh banget sendirian, tanpa aku. Kita sembuh bareng-bareng ya, Put. Aku minta maaf, i regret everything. Makasih udah mau kasih kesempatan kedua.”

”Iya.”

Putia menghentikan mobil yang ia kemudikan seraya mengedarkan pandangan dengan bangunan di depannya. Ia menghela nafas beratnya lagi dan keluar untuk mengantar Jenggala ke dalam. Kenapa rasanya berat sekali?

GAPUT: After MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang