Part 10

938 193 52
                                    

Singapore, Mei 2010

Jemari Febe membelai syal sutra halus bergradasi pink.

"Ini bagus," ujarnya mantap seraya melirik David yang berdiri di sebelahnya. Mereka berdua sudah berkeliling ke melihat parfum, tas, aksesoris di dalam Tangs Takashimaya. David memintanya memilihkan hadiah untuk ulang tahun pernikahan Uncle Ethan dan Tante Irma.

"Vid?" Febe melambaikan tangannya di depan David. Hari ini David seperti tidak fokus, beberapa kali dia terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Ya, ya, bagus. Mom bisa suka," ucap David singkat lalu membawa syal itu kepada pramuniaga yang membungkusnya dengan rapi. Tanpa melihat harga yang tertera David menggesek kartu kreditnya.

"Terima kasih sudah menemaniku memilih hadiah." David berpindah kembali ke dalam bahasa Inggris.

"Sama-sama," balas Febe kembali dalam bahasa Inggris. Lima bulan di Singapura, bahasa Inggrisnya sudah lebih lancar. Paling tidak sekarang dia tidak lagi dimarahi oleh penjaga hawker.

David tersenyum memperlihatkan lesung pipit yang membuat Febe berpikir, apa yang salah dengan dirinya. David tidak setampan Chandra, tidak romantis seperti Chandra, tidak pernah menyenandungkan lagu dengan gitar. Tapi, tidak ada yang kurang dari David. Pakaian rapi, pekerjaan bagus, sopan, ngemong, keluarga baik-baik. Kenapa hatinya tak tergetar sedikit pun?

Kenapa hatinya bisa jatuh begitu cepat dengan Chandra, tetapi David dengan rangkaian fancy dinners, SMS-SMS yang makin sering, perhatian yang mengalir tetap tidak membuat Febe jatuh hati? Apakah Chandra membuatnya kehilangan kemampuan jatuh cinta?

Tangan David meraih jemarinya, menggandeng Febe keluar dari toko. Pendekatan David sistematis dan terukur. Dimulai dengan sentuhan kecil, memegang bahu, menepuk pundak.. Sentuhan-sentuhan ringan yang terkadang seperti tanpa sengaja sekalipun Febe curiga David memperhitungkan semuanya. Di pusat keramaian dan ketika menyebrang jalan, David mulai menggandengnya. Tiap kesempatan, genggaman tangan David makin lama terurai.

David meremas lembut jemarinya, tetapi Febe diam saja.

Setelah bersantap malam, tentu saja di restauran yang chic dan hip dengan alunan musik merdu. David memberi kode kepada pelayan yang datang membawa dua mangkok mango sago pomelo. Potongan puding mangga dan irisan mangga manis yang dipadukan dengan rasa segur jeruk pomelo. Tanpa menunggu waktu, Febe langsung menyantap makanan penutup kesukaannya ini. Samar-samar terdengar lagu We Could Be In Love.

Selama di Xiamen, Febe lebih banyak menghafal lagu-lagu Mandarin, tetapi lagu Lea Salonga ini salah satu lagu favoritnya. Tangannya perlahan mengetuk meja mengikuti irama sementara bibirnya bernyanyi lirih.

And it's not just wishful thinking

Or only me who's dreaming

I know what these are symptoms of

We could be in love

David tersenyum, "Ini lagu orangtuaku."

"Orangtuamu pasangan paling mesra yang pernah kulihat," celetuk Febe.

Orang tua Febe termasuk pasangan yang rukun tapi Tante Irma dan Uncle Ethan bukan hanya jarang bertengkar, di usia yang sudah tidak muda mereka tak segan-segan memeluk atau mencium pasangannya bahkan di depan Febe.

Pertama kali, Febe jengah dan tidak biasa melihat pasangan memamerkan kemesraan di depan orang. Lama kelamaan Febe menjadi terbiasa bahkan berpikir bukankah seharusnya pasangan yang sudah menikah lebih mesra?

PhiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang