Part 18

934 191 27
                                    

David bangun dengan perlahan dari ranjang, nyeri di tangannya makin terasa. Jam dinding menunjukkan hari sudah pukul 10 lebih. Semalaman, David tidur terputus-putus. Beberapa kali dia terbangun karena rasa sakit.

Dad memberinya cuti satu minggu dan berpesan supaya ia istirahat saja.

"Spend time with your girlfriend," pesan terakhir Dad sebelum boarding di airport.

Girlfriend? Sejak kapan Dad bicara soal pacar?

Begitu pintu kamar dibuka, David mencium wangi masakan, membuat dia sadar dia belum makan apa-apa dari kemarin malam. Perlahan otaknya memproses apa yang terjadi kemarin malam.

Febe tiba-tiba keluar dari dapur dan berkata, "Pangeran Tidur sudah bangun?" ledek Febe. "Duduk, makan, minum obat," perintahnya. David menurut, dia duduk lalu membaca nama obat yang ternyata harus diminum sebelum makan.

Di meja makan, sepiring sosis dengan roti bakar tertata rapi.

"Sudah dingin, salahnya jam 10 baru bangun," kata Febe ketus.

"Enggak apa-apa. Makasih." David tersenyum yang malah dibalas dengan sikap dingin Febe. David baru menyadari, sosis dan roti bakarnya sudah dipotong dalam bentuk bite sized. Mudah sekali memakannya, hanya butuh garpu dan satu tangan. Sebelum dia mengucapkan terima kasih, Febe sudah menghilang.

Selesai David makan, Febe muncul dengan beberapa obat. Gadis itu membawa piring kecil dan menaruh semua obat-obatan sesuai resep dokter. Tanpa diminta Febe menuangkan air ke dalam gelas dan menaruhnya di depan David. "Minum."

Tanpa membantah, David meminum kapsul dan tablet kecil. Febe menunjuk ke dapur dan mulai memberi aba-aba, "Di microwave ada dua porsi makanan. Satu buat makan siang, satu buat makan malam. Obat aku taruh di sini. Semua ada tulisannya." cerocos Febe seperti kereta api.

"Tunggu, aku baru bangun. Bisa bicara pelan-pelan. In English, perhaps?"

"Kalau enggak ngerti ya udah," ketus Febe. "Salahmu enggak bisa bahasa Indonesia."

Butuh waktu bagi otak David untuk menerjemahkan kalimat Febe. Setelah sadar, David menahan tawa.

"Eh malah ketawa. Udah tulalit, lama lagi baru nyambung," omel Febe makin galak. "Basi tahu, ketawanya roaming 10 detik."

Bukannya berhenti, tawa David justru makin kencang.

"Kamu bisa galak," seringai David kagum.

"Iya! Kamu enggak suka kan cewek galak, bawel bossy kayak Anissa?" tembak Febe jumawa. Dia lalu merepet. "Mana bisa hidup di China kalau enggak galak? Salah-salah nanti dibohongin penjual, kena tipu, lebih parah bisa diculik! Hoki kamu kita udah putus!"

David menaruh siku tangan kirinya di atas meja dan mengelus dagunya sambil mengamati gerak-gerik Febe yang terus mengomel seperti kereta api. Dengan bahasa Indonesia patah-patah kalimat yang David dengar seperti sambungan telepon dengan sinyal jelek.

"Ngapain lihat-lihat?" sergah Febe dengan nada tinggi.

Menahan tawa, David menunduk. Dirinya seperti anak kecil yang tertangkap mencuri buah di pohon tetangga.

"Makan siang dan makan malam di microwave. Jangan lupa minum obat, bener kan?" ucap David sambil mengulang perintah Febe. "Kamu galak karena hidup di China."

Febe tak menjawab, ia beranjak mengambil tasnya dan berkata. "Piringnya taruh aja di tempat cuci piring, besok kucuci. Bye"

Sebelum David bisa menjawab Febe sudah keluar dan membanting pintu. David menggelengkan kepala dengan takjub. Pria itu bangkit perlahan lalu kembali ke kamar.

PhiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang