Part 33

900 199 13
                                    

September

Shangri-la Rasa Sentosa

Angin bertiup sepoi-sepoi membuat kain putih di atas altar menari. Semarak bunga mawar merah jambu, pink carnation dan mawar putih menghiasi altar. Lima puluh kursi kayu putih ditata rapi menghadap pemandangan laut dan pulau kecil dengan nyiur melambai.

David menggandeng Febe. menyusuri pantai berpasir putih. Di sebelah kanan altar ada tenda kecil lain yang diisi oleh strings quartet mengalunkan lagu-lagu klasik.

Sesekali David mengangguk dan menyapa sopan tamu-tamu yang datang. Melambai kepada sepupu Nancy dari Taiwan, tersenyum sopan kepada kakak Mama Nancy yang buru-buru berbisik kepada kerabat lain ketika melihat David. David menelan ludah, apa yang mereka bicarakan tentangnya?

Sebagai mantan tunangan, tentu saja dia mengenal seluruh keluarga besar Nancy. Jika ia tidak datang, kabar yang beredar mungkin dia masih marah. Jika dia datang sendiri, Nancy pasti bertanya kemana Febe kenapa Febe tidak ikut menemani. Serba salah memang dengan status sebagai mantan tunangan.

Untung paling tidak ada Febe yang menemani. Ia melirik Febe yang tampak anggun dengan kebaya brokat salem dan pencil skirt selutut. Penampilan Febe sederhana, seuntai kalung dengan liontin mutiara kecil menghiasi lehernya yang jenjang. Mom punya beberapa kebaya dengan model yang mirip dengan Febe.

David tak pernah memberitahu siapapun bahwa dirinya paling suka melihat Mom menggenakan kebaya. Sewaktu kecil, ia suka membayangkan Mom seperti putri-putri kerajaan Jawa yang ia pernah lihat fotonya di museum.

Wangi perfume jasmine Febe tercium ketika Febe berbisik di telinganya. "Cuman segini? Aku pikir pemberkatan banyak yang datang."

David menggeram pelan, "Ini hanya untuk keluarga dan teman dekat."

"Iya, di Indo juga only for family and friends tapi undangannya 1000 orang. Pemberkatan yah 100-200 orang," gerutu Febe.

"Terlambat. Semua orang sudah melihat kita. Senyum yah." David menebar senyum ke sana kemari. Jemarinya sedikit berkeringat. Matanya sibuk memindai mencari posisi aman yang sedikit tersembunyi.

Matanya menemukan dua kursi kosong di antara beberapa orang berambut pirang yang kemungkinan adalah teman mempelai pria, buru-buru ia menggamit Febe untuk mengikutinya tetapi suara cempreng menghentikan langkahnya.

"David? Is that you? Oh my goodness!" David buru-buru memasang senyum, tak jauh darinya seorang wanita paruh baya dengan gaun biru semata kaki dengan rambuk disasak tinggi menghampiri mereka dengan tergopoh-gopoh.

"Ini siapa?" bisik Febe.

"Nancy's auntie."

"Apa kabarmu, David sayang?" Wanita itu memeluk dan menempelkan pipinya yang bersalut merah ke pipi David.

"Kabar baik, Auntie Serene. Apa kabar?" balas David sopan.

"Luar biasa! Dan siapa gadis cantik ini? Istrimu, heh?" Pandangan Auntie Serene memindai Febe dari atas sampai bawah. David tak ingat apakah suara Auntie Serene memang sekeras ini dari dulu, atau Auntie Serene yang 'diutus' oleh keluarga besar Nancy untuk menginterogasi David secara halus tapi dengan volume suara stereo.

"Ini pacar saya, Febe."

Febe mengangguk seraya menyapa, "Hello, Auntie."

"Ah, kamu belum menikah ya. Nancy duluan ya?" Suara Auntie Serene bak megafon mengumumkan status David ke seluruh tamu-tamu yang ada di sekitar mereka.

David mengangguk-angguk seperti boneka kucing pembawa hoki di kasir restoran. Auntie Serene membetulkan letak kacamatanya dan melirik ke arah Febe lagi. Mleihat kebaya Febe, Auntie Serene berkata, "You Indonesian?"

PhiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang