Chapter 5 | Selamat Tinggal

209 18 9
                                    

Tutur lembut, tetapi terdengar lirih itu tak ayal membuat jantung Sharon mencelos pun berdebar cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tutur lembut, tetapi terdengar lirih itu tak ayal membuat jantung Sharon mencelos pun berdebar cepat. Menggila.

Hanya seorang Helena Zudith yang bisa membuat sang CEO berandal sekacau itu selama menetap di Singapura.

Kalimat itu begitu mengusik hati dan pikirannya. Namun, saat ia mengingat nama Shahnaz Hanindya, kewarasannya kembali datang.

"Helena, tunggu. Mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi. Aku mau minta maaf, tadi ... aku menyebutmu murahan di depan Zidan. Aku minta maaf. Aku kesal karena Zidan mengatakan tubuhmu ... cukup setimpal untuk melunasi hutangnya. Maafkan aku," seru Sharon seraya menundukkan pandangannya. Merasa bersalah.

Helena langsung memangkas jarak dan meraih dagu Sharon. Dengan beraninya, perempuan itu mengecup pipi kanan Sharon.

Saat hendak mengecup bibir tipis CEO berandal itu, Sharon langsung melengos dan memundurkan tubuhnya. "Jangan. Aku tidak mau kita melewati batas, tetapi kamu malah mau melakukan itu barusan," ucapnya yang kembali berdebar.

Jantungnya semakin tidak aman.

Helena menegakkan tubuhnya dan menatap Sharon dengan tatapan tidak terbaca.

"Tadi kamu mengatakan aku sebagai wanita murahan. Jadi, sekalian saja aku berubah jadi murahan, Sharon. Asal kamu tahu, kamu lelaki pertama yang aku cium, seperti barusan. Aku pikir, kita akan membuat kenangan sebelum kamu menikah. Ah, sudahlah. Aku pulang saja. Aku sahur bersama Daddy nanti. Sekali lagi, selamat menempuh hidup baru, Sharon. Assalamu'alaikum ...." Helena memburam.

"Wa'alaikumsalam," jawab Sharon pelan.

Helena berjalan cepat menuju pintu. Namun, ia kembali menoleh lalu tersenyum. "Sial! Aku patah hati karena seorang CEO berandal."

Helena terkekeh kecil lalu buru-buru keluar dari kamar.

Tinggallah Sharon sekarang yang mematung di atas ranjang sembari memegang pipinya. "Dan kamu wanita pertama yang mencium pipiku, Helena. Berbahagialah tanpaku dan ... selalu berhati-hati dengan Zidan. Selamat tinggal ...."

***

"Iya, Pi. Sha harus flight sekarang. Nanti ketinggalan pesawat ke Jakarta."

Subuh itu Sharon dikejutkan dengan panggilan tiba-tiba dari sang ayah tersayang. Rama Darendra.

"Astaghfirullah ... Kemarin adikmu Shiraz dan Shireen yang pulang ke Jakarta, sekarang kamu. Tinggal Shakeel yang betah di Kuala Lumpur bersama Papi. Ah, tetapi sebentar lagi kakakmu itu juga akan menikah dan pulang ke Jakarta untuk tinggal sementara waktu bersama mertuanya di sana. Papi dan Mami akan kesepian tanpa kalian." Kini, kembali memendar suara papinya di ujung sana.

"Memangnya Papi nggak mau menantu dan cucu juga dari aku?" celetuk Sharon.

"Maksud kamu apa, Nak? Kamu mau kawin lari?"

"Astaghfirullah ... ya nggak gitu juga, sih, Pi." Helaan napas panjang Sharon menguar.

"Terus apa? Perasaan, Papi belum memutuskan acara lamaranmu dan putri Pak Erick Haydar kapan. Ini kenapa juga kamu sudah ingin langsung menikah saja, hmm? Jangan aneh-aneh, ya. Mau Papi hukum kamu?"

"Jangan dong, Pi. Niat Sha pulang ke Jakarta itu baik, kok. Sha mau melamar cinta pertama Sha lalu kami menikah dan hadiahin Papi cucu secepatnya. Okay?" Sharon menahan senyumnya.

"Huh? Ini maksudnya apa? Kamu tidak mau menikah dengan Sabrina?"

Sharon menghela napas berat. "Pi, Sha udah besar. Tolong untuk urusan jodoh, biarkan Sha yang pilih sendiri. Bukan karena Sha nggak percaya sama Papi, tetapi ini menyangkut ibadah seumur hidup Sha, Pi. Please ...."

Kini, terdengar helaan napas panjang di seberang sana.

"Pi ... Sha cinta banget sama gadis itu. Tolong restuin Sha, Pi."

"Dengar Shahreel, Papi ti-"

"Sharon, Pi," potong Sharon.

"Ah, itu nama baru kamu. Bagi Papi dan Mami, nama kamu tetap Shahreel. Okay?"

"Lha, itu samaan sama Pak Shahrul sopirnya Papa Reyyan. Sha nggak mau. Entar dikira Sha kembarannya Pak Shahrul bukan Kak Shakeel." Sharon memanyunkan bibir tipisnya.

Sang berandal tetaplah bayi besar Papi Rama dan Mami Shela.

"Papi pusing. Terserah kamu saja. Yang penting selalu ingat, jaga diri kamu di mana pun berada. Jangan mudah tergoda wanita di luar sana. Mantapkan hati kamu untuk satu wanita saja, Nak. Memang benar, semakin kuat kita membuat benteng pertahanan, semakin besar juga godaan yang datang, tetapi Papi selalu yakin kalau kamu, Shakeel dan Shiraz bisa kuat iman. Kamu dengar Papi, 'kan, Shahreel?"

"Iya, dengar, Pi. Insyaallah Sha akan selalu jaga diri, seperti yang Papi dan Papa Reyyan ajarkan."

"Aamiin ... alhamdulillah ...."

"Ah, Pi ...."

"Iya? Kenapa? Mau minta jajan? Yang Papi transfer awal bulan itu kurang? CEO Anggara Group Singapore tidak kekurangan, 'kan, di sana?" berondong Rama.

"Alhamdulillah masalah isi dompet dan saldo rekening aman, Pi. Sha cuma mau tanya tentang Tuan Yusuf teman Papi yang di Jakarta itu, calon mertua Shireen. Papi kenal putrinya yang bernama Aisha?" tanya Sharon kepalang penasaran.

"Oh, Dokter Aisha? Ya, kenal. Aisha itu adik kembarnya Adam. Papi beberapa kali bertemu dengan Nak Aisha. Awalnya, Papi ingin sekali Nak Aisha Papi jodohkan dengan salah satu putra Papi, tetapi ternyata kata Yusuf, putrinya sudah dijodohkan. Ya, sudah ... Papi jodohkan saja Shireen dengan Nak Adam."

"Ya, ampun ... putra Papi itu masih pada kuliah. Masa mau dijodohin sama Bu dokter. Nggak ketuaan, Pi? Jadi suami berondongnya yang ada. Udahlah, skip. Sha nggak minat. Umm ... satu lagi, Pi. Sha minta tolong ke Papi agar Anggara Group Singapore diurus Om Andra dulu selama Sha pergi. Nanti dibantu Naresh juga kok."

"Okay, biar jadi urusan Papi. Yang penting ketika kamu pulang ke Jakarta nanti bisa segera bertemu Nak Sabrina."

"Papi ...."

***

"Udah, jangan nangis." Sharon menepuk punggung gagah asisten pribadinya yang kini tanpa angin dan hujan sudah memeluknya erat.

Naresh menarik diri. "Saya tidak menangis, Bos. Hanya saja, saya takut Bos kenapa-kenapa di Jakarta dan saya tidak ada bersama Bos di sana."

"Udah, nggak usah gengsi. Kalau mau bilang kangen, ya, bilang aja, Naresh. Itu aja, kok, susah." Sharon beralih menepuk lengan Naresh.

Naresh pun tersenyum seraya meringis. "Hati-hati, ya, Bos. Langsung hubungi saya kalau bos perlu bantuan. Oh, di bawah ada banyak wartawan yang menunggu, Bos."

"Astaga. Aku akan turun dari tangga darurat saja."

"Kita di lantai tujuh, Bos. Bos yakin?" tanya Naresh tidak tenang.

"Jangan meremehkanku, Naresh." Sharon menjawab mantap.

"Umm, tetapi Bos lagi puasa, 'kan?"

"Aman. Udah, ya. Aku pergi. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumsalam ...."

Sharon tersenyum lantas berbalik cepat untuk meninggalkan apartemen seraya menyeret koper dengan backpack besar hitam di punggung gagahnya.

Hatinya berdebar. Kali ini lebih kacau daripada saat bersama Helena.

"Jakarta, I'm coming. Shahnaz Hanindya Refaldy ... aku pulang. Kamu masih menungguku, 'kan?"

To be continued ....


Kontrak Hati CEO Berandal | ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang