Berkilas balik.
Pada pertengahan warsa ke sembilan belas, untuk kali pertama Hayila injak buana kota Jakarta usai diboyong-secara paksa-oleh Mama untuk turut pindah bersama pria asing yang wajib hukumnya Hayila panggil Papa baru.
Miris.
Padahal, tanah kuburan Papa di Bandung bahkan masih basah, belum mencapai empat puluh hari dikebumikan. Tetapi, Mama bisa dengan mudah berpaling hati.
Hayila ingin marah, tetapi tak bisa.
Benar, manusia itu dirancang dinamis, tidak persisten. Hari ini dan esok tidak akan pernah sama, atau memang sebenarnya sudah tidak lagi serupa.
Seperti Mama, dulu sekali, Hayila adalah saksi hidup betapa dia mencintai Papa. Dan semua benar-benar berubah ketika perusahaan Papa alami pailit, kemudian bangkrut.
Dari waktu ke waktu, perlahan rumah berangsur-angsur mendingin, bagai tumbuh sekat tak kasat, dinding menjulang. Mama Papa sibuk membangun kembali bisnis mereka. Hari berganti, dan semua kembali baik-baik saja.
Papa berhasil merintis ulang. Namun, disanalah malapetaka bermula. Mama ketahuan diam-diam bermain gila dengan saingan Papa yang menyebabkan perusahaan merugi.
Papa kecewa, tetapi memilih bungkam dan bersikap biasa. Terlalu naif beranggapan, Hayila muda tidak tahu apa-apa.
Rupanya, ada konspirasi terselubung di baliknya. Tahu-tahu, Papa alami kecelakaan usai antar Hayila ke sekolah.
Tepat depan mata kepala sendiri, Hayila lihat laki-laki itu terpental jauh, kemudian terkapar bersimbah darah di jalanan ramai, korban tabrak lari katanya.
Sebabkan, kedua kaki kehilangan semua fungsi. Papa dinyatakan lumpuh total sedang kasus tak kunjung diselidiki serius oleh pihak polisi.
Selalu ada alasan tak masuk akal ketika Hayila bertanya kapan pelaku akan ditemukan dan diadili. Dalih tiada rekaman pengawas, minim saksi, bukti kurang kuat.
Jelas-jelas, hari itu sesak lalu-lalang. Dari sekian banyak orang yang menolong, kenapa tidak ada seorang pun bersedia berikan minimal satu keterangan singkat?
Tidak muluk-muluk sampai terperinci, cukup katakan apa yang sebenarnya terjadi-mendukung statmen Hayila tentang plat nomer dan ciri-ciri pelaku yang terpampang nyata. Itu sudah lebih dari cukup.
Nihil. Mereka tutup mata dan berpura-pura tuli, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dan melupa. Empati digadai demi segepok uang tutup mulut.
Berakhir, ucapan Hayila yang masih berstatus anak sekolah dasar tidak diterima, dianggap berpotensi terdistorsi sebab masih belum cukup usia untuk menjadi saksi ahli. Sangat tidak memenuhi syarat.
Kala itu, Hayila tidak mengerti.
Mengapa orang dewasa suka sekali memperumit keadaan yang kaya akan solusi?
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] enigma; kim leehan boynextdoor
Fanfiction╰𝖽𝗂 𝖻𝖺𝗀𝗂𝖺𝗇 𝗅𝗈𝗋𝗈𝗇𝗀-𝗅𝗈𝗋𝗈𝗇𝗀 𝗉𝖺𝗅𝗂𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗂𝗌𝗈𝗅𝖺𝗌𝗂 𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆 𝗄𝖾𝗉𝖺𝗅𝖺, 𝖺𝖽𝖺 𝖽𝗎𝗇𝗂𝖺 𝗌𝖾𝗆𝗉𝗎𝗋𝗇𝖺, 𝗍𝖾𝗋𝗌𝖾𝗆𝖻𝗎𝗇𝗒𝗂 𝖽𝗂 𝖺𝗇𝗍𝖺𝗋𝖺 𝗄𝖾𝗋𝗎𝗁𝗇𝗒𝖺 𝗈𝗍𝖺𝗄 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗎𝗌 𝗆𝖾𝗆𝖻𝖾𝗋𝗈𝗇𝗍𝖺𝗄...