─── ・ 。゚★: ◔.✦ .◓ :★ 。゚・ ───
“Hei! Di sini!” Lingga hampir membuka pintu taksi andai tak dengar samar suara seseorang dari arah jarum jam sembilan. Melambai dibersamai senyum, duduk ayun kaki di halte radius sepuluh meter. Lantas, taruna Oktober lekas mendekat usai urung pulang sebab hari ini sopir jemputan berhalangan datang.
Alis bertaut, bingung. “Sedang apa? Ku kira sudah pulang.” Mengingat perangai kurang sabaran Hayila ibarat tissue di belah dua, jelas Lingga skeptis si gadis tunggu hadirnya. Apa urusannya sudah selesai? Sejenak, lirik sebuah mobil van hitam melaju tak lama setelah Hayila panggil. Lingga seperti tidak asing, kendati agak kurang yakin.
“Ayo.” Pertanyaan Lingga terlalu retorika, dan Hayila jelas malas menjawabnya. Maka, ia langsung mengamit pergelangan si lebih dominan untuk menyebrang jalan-menuju 𝘤𝘰𝘯𝘷𝘦𝘯𝘪𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘴𝘵𝘰𝘳𝘦 tak jauh dari tempat mereka sekarang-bahkan tanpa payah repot tunggu persetujuan si empu terlebih dahulu.
Sementara, Lingga nampak tak keberatan. Tidak pula lanjut bertanya alasan, atau menerka lebih jauh kemana daksa lebih pendek darinya itu akan membawa raga pergi.
Langit Ibukota menjelang petang agak mendung, hamparan awan berwarna kelabu eksis, otomatis menutupi semberawut jingga si tuan senja yang terkikis. Menilik sekitar, suasana guram keabuan.
Bagaskara yang biasanya paling mentereng, sejak subuh lenyap entah kemana. Angin berhembus kencang, menerbangkan segala macam residu, sisa pembakaran kendaraan, dan dedaunan kering, bergumul-gumul di udara, hasilkan asap pekat tak nyaman ketika indera menghirupnya. Jangan lupakan, alih-alih rendah suhu, sekitar malah terasa kering.
Bangunan dengan cat khas merah dan dinding kaca transparan-memungkinkan siapa saja bisa lihat aktivitas yang terjadi di dalam tanpa perlu masuk-menyambut kedatangan.
Begitu Hayila menggeser pintu bertulis tarik, wajah Lingga seperti diterpa udara kutub Antartika, suhu berubah drastis dengan aroma bunga lavender dan seuntai lagu romantis. Jangan lupakan, penjaga kasir berpenampilan rapi senantiasa sambut kedatangan dengan aksen senyum pula tutur salam.
“Selamat datang di tempat kami, dan selamat berbelanja.”
Lingga sekadar tarik garis tipis.
Sedang Hayila mendengkus pelan. “Kak, tidak diucapin selamat sore juga, nih?” Jelas, buat Lingga menoleh dengan mata berkedip. Menilik mimik Hayila, si gadis sedang tidak bercanda.
“Selamat sore, semoga hari adek Hayila berjalan lancar, ya.” Namanya Tarenda, pemilik lesung kembar, pecinta kacamata. Wajahnya teduh, sekali senyum mampu membikin meleleh.
Alasan sama (sekadar menikmati sore dengan membaca komposisi makanan ringan, berburu produk terbaru, atau sesederhana lesehan di beranda depan lihat bagaimana ramai lalu-lalang) selalu Hayila gunakan demi bisa datang ke sini.
Ditambah, entah bagaimana, Hayila amat suka ketika dengar suara khas si penjaga minimarket sebrang sekolah ketika bicara. Apalagi, lekuk dalam pada pipinya yang selalu nampak setiap kali dia bicara atau sekadar acak gerak bibir.
“Terima kasih, kak Aren.” Kurva serupa bulan sabit terbit, disambut pula merekah dari si seragam merah. Hayila ambil satu keranjang kuning sebelum menjelajahi rak demi rak berjajar rapi.
Dan Lingga, memperhatikan dengan raut wajah kusut tidak karuan. Mendelik ke arah Hayila dan Tarendra bergantian, seraya bibir mencibir. Tidak suka.
Apa-apaan dengan panggilan adek-kakak? Lebih apa-apaan lagi, Hayila sekarang terlihat seperti berjalan di atas bunga-bunga, menenteng keranjang, lompat-lompat kecil di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] enigma; kim leehan boynextdoor
Fanfic╰𝖽𝗂 𝖻𝖺𝗀𝗂𝖺𝗇 𝗅𝗈𝗋𝗈𝗇𝗀-𝗅𝗈𝗋𝗈𝗇𝗀 𝗉𝖺𝗅𝗂𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗂𝗌𝗈𝗅𝖺𝗌𝗂 𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆 𝗄𝖾𝗉𝖺𝗅𝖺, 𝖺𝖽𝖺 𝖽𝗎𝗇𝗂𝖺 𝗌𝖾𝗆𝗉𝗎𝗋𝗇𝖺, 𝗍𝖾𝗋𝗌𝖾𝗆𝖻𝗎𝗇𝗒𝗂 𝖽𝗂 𝖺𝗇𝗍𝖺𝗋𝖺 𝗄𝖾𝗋𝗎𝗁𝗇𝗒𝖺 𝗈𝗍𝖺𝗄 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗎𝗌 𝗆𝖾𝗆𝖻𝖾𝗋𝗈𝗇𝗍𝖺𝗄...