Kalau boleh jujur, ada sesuatu berbeda dari perjalanan singkat yang mereka tempuh. Entah alasan apa melatari, Hayila tak keberatan Lingga antar sampai depan hunian.
Tentu, Lingga yang terlampau peka terhadap hal-hal sekecil partikel atom di sekitar (meski secara teknis dia lebih memilih untuk tetap diam seolah-olah tidak melihat apa-apa terlampau flegma) bisa dengan mudah menangkap sinyal tak biasa dari pias Hayila.
"Mau mampir?" Namun, Kalingga tetap saja hamba biasa. Dia melewatkan kode tersirat dari bibir Hayila yang lontar tawaran retorika. Telat menyadari, ada sesuatu yang berusaha dia sampaikan tanpa gamblang kata terutara.
Menggelengkan kepala. "Tidak. Mama Papa mu galak." Nyata tolak tanpa banyak basa-basi.
Langsung disambut angguk paham-diam-diam terhela napas kecewa, kendati tidak mampu berbuat apa-apa. "Baiklah. Lagi pula, aku hanya berkata untuk formalitas belaka." Itu jelas bohong. Hayila pandai menipu orang-orang.
Lingga berdecih, mencibir. "Dasar!"
"Kalo begitu, sana pulang! Nanti mantelmu akan aku kembalikan setelah di cuci. Ini, payung mu." Seraya tangan sodorkan benda bergagang berbahan sintetis transparan kepada Lingga. Nada bicara berubah sewot.
"Baiklah. Aku pulang." Dan Lingga yang menolak ambil pusing, menanggapi ringan.
Tepat di langkah ketiga, suara Hayila kembali menginterupsi daksa untuk berhenti, kemudian menoleh ke arah si turani bersurai setengah basah yang baru saja memanggil namanya.
Berbalik badan. "Apa?" Tergurat jelas dua garis pada dahi. Bertanya-tanya.
"Maaf." Alih-alih, Hayila menunduk. Menatap ujung sepatu putih terkontaminasi ciprat lumpur, gamang. Tidak, bukan kalimat itu yang ingin Hayila ucap, berkat mulut sialan yang mendadak kelu, sedang tenggorokan seperti dihalau sesuatu. Pita suara mendadak beku. Ruang terasa sempit sedang sekian banyak klausa berdesak-desakan di dalam sana, menghimpit.
"Jangan bertele-tele." Satu lagi, yang jika boleh berkata jujur Lingga tidak terlalu suka dari kebiasaan Hayila yang suka bicara setengah-setengah. Tidak tuntas-paling sering tergantung begitu saja tanpa lanjutan berarti dan akan tetap begitu sebab tidak pernah diungkit-ungkit lagi.
"Jika nanti hasil ujian mu tidak mendapat nilai seratus, jangan marah atau menjauh, ya. Aku sedang kalut." Terselip nada tak stabil, dominan penuh rasa bersalah. Lagi-lagi, Lingga melewatkan poin krusial yang sejak keluar dari bangunan sekolah, sudah dia persiapkan. Sayang, kinerja anatomi tidak bisa diajak berkompromi.
Untuk beberapa detik, Lingga terdiam. Menatap Hayila yang tak kunjung mengangkat kepala. Tanpa sadar, hati bergumam saru, jadi kejanggalan yang sejak keluar dari ruang tes tidak salah? Hayila sedang tidak baik-baik saja.
Kenapa?
Karena novel yang dia bicarakan tadi ketika melewati lapang? Lingga rasa tidak sesederhana itu. Pasti ada alasan lain. Dan kini, dia merasa yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] enigma; kim leehan boynextdoor
Fanfic╰𝖽𝗂 𝖻𝖺𝗀𝗂𝖺𝗇 𝗅𝗈𝗋𝗈𝗇𝗀-𝗅𝗈𝗋𝗈𝗇𝗀 𝗉𝖺𝗅𝗂𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗂𝗌𝗈𝗅𝖺𝗌𝗂 𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆 𝗄𝖾𝗉𝖺𝗅𝖺, 𝖺𝖽𝖺 𝖽𝗎𝗇𝗂𝖺 𝗌𝖾𝗆𝗉𝗎𝗋𝗇𝖺, 𝗍𝖾𝗋𝗌𝖾𝗆𝖻𝗎𝗇𝗒𝗂 𝖽𝗂 𝖺𝗇𝗍𝖺𝗋𝖺 𝗄𝖾𝗋𝗎𝗁𝗇𝗒𝖺 𝗈𝗍𝖺𝗄 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗎𝗌 𝗆𝖾𝗆𝖻𝖾𝗋𝗈𝗇𝗍𝖺𝗄...