Di luar hujan, malam di kediaman keluarga Kalingga selalu nampak sama-sepi nihil penghuni.
Lingga melenggang masuk diikuti seorang pelayan wanita di belakang, menunggu waktu tepat tahan ujung sepatu supaya sang tuan tidak kepayahan melepas alas kasut.
Cepat-cepat tata pada lemari khusus pemusnah patogen tertutup setiap sisi, disinfeksi sebelum atau sesudah di cuci. Wajib! Atau, nyonya rumah akan mengamuk dan semua terkena masalah.
Kemudian, pelayan lain lanjut lepas kaus kaki, basuh telapak tangan merta kaki menggunakan antiseptik semprot.
Lingga cukup rentangkan kedua tangan, tahan napas, seraya tutup mata. Karena demi Tuhan, aroma disinfektan benar-benar mengganggu penciuman. Menyengat, tak jarang buat Lingga terbatuk. Saking sering berkutat.
Persetan keluarga aneh dengan fobia menyusahkan mereka, 𝘮𝘪𝘴𝘰𝘧𝘰𝘣𝘪𝘢.
Lempar asal tas, yang disambut baik meski tanpa intruksi oleh seorang pelayan pria yang setiap kepulangan siap siaga, ikut menyambut meski Papa sudah naikan pangkatnya menjadi kepala.
"Siapa yang sudah pulang?" bertanya seraya lepas dasi, seragam, dan almamater, menyisakan kaus putih polos yang lagi-lagi si taruna dua puluh Oktober oper sembarang layak bola kasti kepada orang sama-Pak Cleve.
"Ada Nyonya." Seakan terbiasa, pria usia awal lima puluhan tidak keberatan melakukan pekerjaan. Meski terkadang, dianggap sang tuan muda seperti bermain-main belaka. Suka sekali lempar ini-itu setiap pulang ke rumah.
Sampai di lorong antara ruang tamu dan dapur, Lingga menghentikan langkah. Otomatis, buat Pak Cleve lakukan hal sama.
Berbalik, sedikit berbisik usai berpendar, memastikan keadaan sekitar. Tidak ada yang tertangkap radar. "Tolong bikinin mie instan rebus, toping biasa. Pak Cleve yang masak. Jangan sampai Mama tahu, saya lapar." Kedip kan sebelah mata dan kembali sambung langkah setelahnya, yang langsung disambut acungan jari jempol.
Bukan sebab Lingga rewel tak sudi dibuatkan pelayan lain, kamar Pak Cleve berada di lantai paling atas, yang secara otomatis melewati lantai dua, dimana kamarnya terletak.
Terlebih, beliau adalah senior, sudah cukup lihai seludupkan '𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨' dengan berbagai skema terencana. Meski, masih bisa terendus visus tajam Mama Papa. Lingga tidak pernah kapok, dan Pak Cleve selalu berada di barikadenya.
"Sudah pulang?" Mendengar suara itu menelusup tanpa izin, Lingga rasa tidak punya cukup tenaga menyahut. Sekadar putar badan, menatap tak berminat pada presensi Adena-sang Mama yang sedang duduk miring setengah menyamping pada sofa paling panjang di ruang tamu. Di tangan, terdapat segelas anggur merah yang sengaja digoyang-goyang abstrak di udara, sebelum menyesapnya secara perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] enigma; kim leehan boynextdoor
Fanfic╰𝖽𝗂 𝖻𝖺𝗀𝗂𝖺𝗇 𝗅𝗈𝗋𝗈𝗇𝗀-𝗅𝗈𝗋𝗈𝗇𝗀 𝗉𝖺𝗅𝗂𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗂𝗌𝗈𝗅𝖺𝗌𝗂 𝖽𝖺𝗅𝖺𝗆 𝗄𝖾𝗉𝖺𝗅𝖺, 𝖺𝖽𝖺 𝖽𝗎𝗇𝗂𝖺 𝗌𝖾𝗆𝗉𝗎𝗋𝗇𝖺, 𝗍𝖾𝗋𝗌𝖾𝗆𝖻𝗎𝗇𝗒𝗂 𝖽𝗂 𝖺𝗇𝗍𝖺𝗋𝖺 𝗄𝖾𝗋𝗎𝗁𝗇𝗒𝖺 𝗈𝗍𝖺𝗄 𝗒𝖺𝗇𝗀 𝗍𝖾𝗋𝗎𝗌 𝗆𝖾𝗆𝖻𝖾𝗋𝗈𝗇𝗍𝖺𝗄...