Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dua pekan sebelum ujian tengah semester digelar, Lingga sudah dipaksa Mama menghadiri berbagai macam les dan bimbel. Tiada waktu libur untuk beristirahat, sekadar bernapas leluasa hirup oksigen penghilang segala penat.
Hari ini, Lingga tidak membawa kendaraan pribadi atau minta di jemput sopir. Taruna dua puluh Oktober lebih pilih opsi menaiki angkutan umum bersama Hayila.
Ngomong-ngomong, gadis itu sudah Lingga antar pulang. Tidak sampai depan rumah, sekadar berpisah di persimpangan saja. Kemudian, Lingga berbalik arah-kabar buruknya, wilayah tempat tinggal Hayila berada di belakang kampung dengan banyak gang remang dan pagar rumput ilalang.
Entah, Hayila memang selalu begitu. Tak mengizinkan siapa-siapa bebas akses alamat. Dan bagi Lingga, itu tidak masalah. Keduanya sepakat, untuk tidak ikut campur masalah mendekati ranah privasi terlalu jauh.
Lagi pula, Lingga tahu di mana tempat tinggal Hayila dan pernah mampir sebentar ke sana-sudah lebih dari cukup baginya.
Itu pun tidak direncanakan, sebab terjebak guyuran hujan, dan kebetulan ponsel mati guna menghubungi sopir. Sama seperti hari ini, benda pipih Lingga juga tidak menyala. Jika Hayila sering lupa membawa payung atau jas hujan, maka Lingga sering teledor mengecek daya baterai.
Kala itu sedang tidak ada siapa-siapa. Jadi, Hayila bisa menyeludupkan Lingga masuk tanpa meninggalkan jejak curiga-semata-mata menunggu hujan reda.
Karena, setahu Lingga, Mama dan Papa tiri Hayila sama jahatnya seperti definisi orang tua yang mereka tahu selama ini. Walau, tidak pernah bersua langsung. Bahkan, ketika pembagian raport Hayila lebih sering menyewa orang lain sebagai perwakilan.
Pada momentum acak, terkadang Lingga bertanya-tanya dalam benak abstrak, apakah semua orang tua itu jahat kepada anak? Mengapa implementasi yang sepanjang hidup dia temui selalu sama? Mama Papa bengis, minim moralitas.
Nyaris, tidak pernah menyaksikan bentuk baku orang tua sayang anak seperti apa bentuknya. Lalu mendadak, Lingga menolak dewasa dan menikah. Takut apabila ikut berubah menjadi iblis oportunis pula, seperti Mama Papa.
Kemudian, angan itu berlanjut pada bagian paling esensial, dia mencintai Hayila (itu mutlak) dan ingin menghabiskan sisa usia bersamanya. Namun, di sisi lain, juga enggan berubah wujud menjadi setan terkutuk. Apalagi, Kakek sering mengumpati Mama Papa, jika mereka itu adalah dua tetengik tidak punya otak.