02 • Mungkin.

641 99 6
                                    

-
.
.
.
.

Pintu ruangan BP terbuka dengan keras, nyaris terlepas dari engselnya. Bu Ghaida melangkah masuk dengan langkah penuh amarah, bagaikan badai yang siap menerjang. Tatapan matanya tajam menghunus ke arah Flora yang duduk di balik mejanya. Nafasnya memburu, dadanya kembang kempis tak teratur.

"Berapa kali saya harus bertemu kamu dalam seminggu? Apa hobimu memang untuk memancing amarah saya?" tanya Bu Ghaida dengan nada tinggi, suaranya bergetar menahan emosi.

Saking kencangnya suara teriakan itu membuat Flora sedikit berjengit dikursinya. Sikap pongah tanpa hormat dan tidak peduli yang sedari tadi ia tampilkan sepertinya sukses memancing amarah Bu Ghaida hingga mencapai batasnya. Buktinya, kedua bahu wanita itu naik turun, terlihat sedang menahan diri melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan seorang guru terhadap murid.

Flora tak peduli dengan raut wajah Guru BK-nya itu. Bu Ghaida terus melontarkan kalimatnya dengan nada tinggi, penuh emosi. "Saya sudah muak dengan semua ini! Hukuman demi hukuman, ceramah demi ceramah, tapi apa hasilnya? Saya masih di sini, berdiri di hadapan kamu."

Flora, tanpa gentar, balas menatap Bu Ghaida dengan tatapan datar. "Saya tidak hobi, Bu. Tapi kayaknya Ibu yang senang banget ketemu sama saya," jawabnya santai, seakan tidak terpengaruh oleh amarah yang meledak di hadapannya.

"Diam kamu!" Teriak Bu Ghaida lagi.

Jelas ini bukan pertemuan pertama mereka. Flora sudah hafal ceramah Bu Ghaida, yang diulang berkali-kali seperti kaset rusak. Ia sendiri saja sudah ingin menguap.

"Ini sekolah. Tempat dimana segala peraturan sudah ditetapkan. Kamu memiliki tanggung jawab untuk mengikuti semua peraturan yang ada disini. Kamu tidak bisa seenaknya melanggar hanya karena kamu berani melakukannya."

Udara di ruang BK terasa begitu sesak dan pengap. Sinar mentari yang menembus jendela seolah enggan menyapa, seakan ikut prihatin dengan suasana tegang yang menyelimuti ruangan kecil itu. Di balik meja kerjanya, Bu Ghaida, sang guru BK, menatap tajam Flora dengan sorot mata yang penuh kekecewaan.

"Flora Shafiqia Agatha!" Bu Ghaida menjeda kalimatnya, menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya yang mulai memuncak. "Kami di sini mendidik pelajar, bukan pembangkang. Dengan catatan pelanggaran sebanyak ini, mau jadi apa kamu nantinya?"

"Flora," Bu Ghaida melanjutkan, suaranya meninggi, "...namamu seolah menjadi langganan di buku 'anak-anak bermasalah'. Apakah kamu tidak malu? Apakah kamu tidak memikirkan masa depanmu sendiri?"

Mulai dari pakaian yang tidak sesuai, sering terlambat datang kesekolah sekaligus memaksa untuk tetap masuk walau ditahan satpam. Sampai ketahuan ingin pulang di saat jam belajar dengan percaya diri lewat gerbang sekolah.

Masih mendengarkan teriakan Bu Ghaida, Flora memilih tidak bersuara dikursinya. Memberikan waktu untuk wanita itu meluapkan emosi. la hanya memperhatikan kukunya yang patah bekas menghajar Kevin tadi. Harusnya ia menggunakan tongkat besi saja. Sekarang Flora  harus memperbaiki kukunya hanya gara-gara cowok brengsek itu.

"Saya harap kamu mengerti akan apa yang sudah kamu lakukan. Ini bukan perkara kamu salah dan mendapat hukuman lalu selesai. Kamu sudah berlaku kriminal."

"Saya gak salah bu," sela Flora tidak terima. "Dia cowok brengsek yang hampir memperkosa saya. Kalau ibu ngomongin tindak kriminal, dia itu orangnya."

Edelweiss.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang