-
.
.
.
.Sejak malam ia memutuskan menginap di apartemen Flora, Ferrel sudah tahu jika dirinya akan berakhir di sini. Sebenarnya, ia juga punya kesempatan pulang di pagi hari tanpa harus memikirkan keadaan cewek itu setelah mabuk. Namun, karena kakinya sudah terlanjur berjalan di atas kubangan, sekalian saja dia terjun berenang.
Setelah mengembuskan napas, Ferrel mengetuk pintu liat berwarna coklat kokoh di depannya tiga kali. Mendengar seruan dari dalam, lalu membukanya. Bau lavender berpadu kayu dari pengharum ruangan seketika menyerang indera penciumannya. la menutup pintu tanpa suara, berjalan masuk dan berdiri di depan sebuah meja besar dengan laptop menyala pada bagian logonya. Sosok di belakangnya tidak mengalihkan pandangan barang sedikit untuk melihat Ferrel.
Sesaat sunyi masih berada di sekeliling kakinya. Ferrel tidak merasa perlu duduk dan hanya berdiri di sana menunggu.
"Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Zeran pada akhirnya.
Sepertinya Ferrel terlalu mengenal Papanya ini. Ketika tadi Ferrel baru sampai, Yori sudah berlari menghampirinya dengan wajah khawatir. Membisikkan jika Papanya ingin bertemu. Dan ketika Ferrel telah berada di sini lalu mendapat pertanyaan seolah ialah yang ingin bicara, cukup membuktikan bahwa seorang Zeran Adhinatha sedang tidak baik-baik saja.
"Ferrel nginep di rumah Fionn, Pa." Ucap Ferrel pada akhirnya. Tahu benar jika itulah yang ingin diketahui oleh Zeran. Nama Fionn selalu berhasil menjadi alasan karena kedua keluarga mereka terikat bisnis bersama.
"Seinget Papa, kamu punya hape."
"Ferrel lupa." Baik Ferrel, terlebih Zeran sangat tahu jika kalimat itu adalah bohong. Ia pun tidak mengatakan kepada Yori ke mana dia pergi. Ia tidak ingin membuat adiknya terlibat. Ferrel akan menanggung semua itu sendiri. Lagi pula, keluarganya sudah sering melakukan ini. Bukan hanya kepada orang lain, tetapi seluruh orang di rumahnya terbiasa berbohong kepada diri sendiri.
"Kamu masih main tinju?" tanya Zeran tanpa basa-basi.
"Papa udah pernah nanya ini dulu. Dan Ferrel sudah jawab."
Zeran mengalihkan matanya. Menatap putra satu-satunya di keluarga Adhinatha. "Apa jawabannya masih sama?"
Ferrel menurunkan matanya sesaat, lalu memandang Papanya yang terhormat itu. "Iya. Masih sama."
Zeran sudah tidak lagi bekerja pada laptopnya. Ia duduk bersandar dengan kedua tangan terkait. Mengamati Ferrel berdiri gagah di depannya.
Sungguh, Zeran berani mengakui jika Ferrel adalah cerminan dirinya di masa lalu. Sosok dengan tubuh tinggi dan otot yang pas. Gagah dan terlihat sangat kuat. Tapi, yang paling mirip dengannya adalah tatapan tegas tanpa kenal takut itu. Zeran selalu membanggakan Ferrel di hadapan teman bisnisnya. Meski diam-diam.
"Papa sudah mempersiapkan semuanya." Ucap Zeran memulai. "Namamu sudah tercatat di salah satu universitas berkualitas di London. Papa juga menyiapkan satu sayap cabang di sana untuk kamu kelola. Sebagai latihan sebelum siap menggantikan Papa," Zeran membuka laci di samping bawah kirinya, mengeluarkan cerutu dan menyelipkan di bibir.
"Yang perlu kamu lakukan hanyalah selesaikan sekolah kamu. Tidak perlu menjadi nomor satu, Papa tau itu sangat sulit untuk remaja jaman sekarang. Cukup lulus dengan tepat waktu." Ferrel tetap diam. Memberi waktu banyak untuk Zeran melemparinya lagi dengan tekanan.
"Tahun ini adalah tahun kejayaan perusahaan kita. Papa yakin, ketika tiba saat kamu masuk, perusahaan sudah dalam keadaan stabil. Kamu hanya perlu melanjutkan. Tidak terdengar sulit dibandingkan Papa yang membangunnya bersama Kakek dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss.
RomanceDihadapkan pada dilema antara menyerah pada takdir atau mengejar kebahagiaan dalam pelanggaran norma. Aku mengenal kamu. Lalu, aku mengerti cinta.