-
.
.
.Baru saja Ferrel menutup pintu rumah, ponsel di sakunya tiba-tiba bergetar.
Flora Shafiqia:
Kaki gue masih sakit. Salep kemaren abis. Terus tadi lo nggak mau gendong gue. Udah gitu, gak mau bareng lagi pulangnya. Gimana nasib gue. Tanggung Jawab!Ferrel mendengus. Cewek itu sangat manja dan pemaksa dalam satu waktu. Sebuah pesan Line kembali masuk. Tepat di bawah kalimat sebelumnya.
Flora Shafiqia:
Tapi, karena gue manusia baik hati dan tidak sombong, lo cuma perlu nebus pake jemputan besok. Gue ikhlas.Ferrel heran, apa yang membuat cewek itu mempunyai tingkat kepercayaan yang sudah melewati batas langit itu.
Ferrel berjalan dengan masih membaca pesan-pesan Flora yang masuk ke ponselnya. Ia memang tidak pernah membalas satu pun, tapi Ferrel tetap membacanya.
Flora Shafiqia:
Gue laper, Rel. Tadi lupa drive thrue :(Flora Shafiqia:
Di kulkas isinya mie sama botol kecap asin doang.Jujur, Ferrel agak penasaran dengan kehidupan Flora. Kenapa cewek itu selalu bilang lapar kepadanya. Dengan siapa cewek itu tinggal sehingga makanan saja tidak bisa ia dapatkan. Padahal, apartemennya saja bukan untuk kalangan biasa.
''Dari mana kamu?''
Suara berat dan berwibawa itu membuat langkah pelan Ferrel berhenti. Ia menurunkan ponsel dan menyimpannya di saku.
''Dari rumah temen, Pa.''
Sosok gagah dengan postur tubuh tinggi besar itu tengah duduk di sofa ruang tamu. Sebuah iPad di tangannya membuat perhatiannya hanya terfokus ke sana tanpa perlu repot menatap Ferrel. Dengan kaca mata bertengger manis di pangkal hidung, membuat siapa saja menjadi segan pada pembawaannya.
''Gimana sekolah kamu?'' tanya Zeran kepada anaknya. Pertanyaan rutin hampir monoton yang selalu ia tanyakan setiap hari. Dan Ferrel memiliki jawaban yang sama monotonnya.
''Lancar.''
Zeran mengangguk puas. ''Bagus.''
Hanya sebatas itu hubungan keduanya. Selain darah yang mengalir di nadinya, menjadi penerus satu-satunya perusahaan keluarga Adhinatha-lah yang membuat Ferrel terikan kepada Zeran.
''Ferrel ke kamar dulu, Pa.''
Setelah menangkap anggukan samar dari Zeran, ia menaiki tangga untuk bisa sampa di kamarnya. Saat hendak membuka pintu, Yori melongokan kepalanya dari pintu kamarnya. Jarak yang cukup jauh membuat Yori memilih keluar kamar dan menghampiri Ferrel.
''Hayo, ngaku. Kakak, dari mana?'' tunjuk Yori penuh selidik.
''Anak kecil mau tau aja.''
''Pasti pergi sama cewek warna-warni kemaren, deh.''
Ferrel mengerutkan dahi. ''Cewek warna-warni?''
''Itu, loh..., yang Kakak ajak ke acara tari Yori waktu itu.''
Jawaban Yori membuat Ferrel terkekeh geli. ''Jangan bilang-bilang ya.'' Ferrel mengusap kepala Yori. ''Ini rahasia kita berdua.''
''Kalo Papa tau, Kakak bisa kena masalah. Yori gak mau Kakak dimarahin. Nanti Yori gak dibeliin komik lagi. Jadi, Yori bakal tutup mulut.''
''Adik Kakak emang pinter.''
''Tapi, komik yang aku mau juga jadi banyak.'' Ucap Yori dengan cengiran. ''Aku udah bikin list-nya.''
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss.
RomanceDihadapkan pada dilema antara menyerah pada takdir atau mengejar kebahagiaan dalam pelanggaran norma. Aku mengenal kamu. Lalu, aku mengerti cinta.