10 • Menjadi Nyaman.

403 70 1
                                    

-
.
.
.

''Soal yang kemaren Gito bilang itu, gimana?'' Tanya Fionn ketika Ferrel sedang membalas pesan Yori soal komik pesanannya kemarin. Anak itu tidak main-main soal list komik yang dia buat.

''Yang mana?'' sahutnya tanpa mengangkat wajah dari layar ponsel.

''Soal tanding sama Revan.''

''Emang kenapa?''

''Lah pake nanya,'' Fionn melihat ke sekitar. Memastikan jika tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka. ''Revan bisa jadi ngabisin lo kali ini. Yakin gue.''

Ferrel menyimpan ponselnya di kantong lalu menoleh ke Fionn. ''Kenapa jadi cemen gak jelas gini. Itu cuma Revan.''

''Lo gak tau aja kemampuan dia udah meningkat. Lo gak bisa ngeremehin gitu aja, Rel.''

''Gue gak pernah anggap remeh semua lawan, Fin. Dan, enggak juga kali ini. Lo terlalu berlebihan.''

Fionn mengusap rambutnya. Tampak sekali cowok itu gusar karena melihat Ferrel yang terlalu santai. "Gue mungkin gak bakal kepikiran kayak gini kalo si Revan gak habis mukulin anak gangster sendirian kemarin malam. Dan, dia menang. Itu udah jadi bukti nyata kalo kemampuan dia gak sama kayak tahun lalu.''

Ferrel bangkit. Membawa sebuah buku di tangan kiri dan menepuk pundak Fionn dengan tangan satunya. ''Lo tenang aja. Gue bisa ngadepin dia.''

''Gue percaya lo bisa ngadepin dia. Tapi, gue gak percaya kalo Revan bisa ngadepin lo dengan jujur. Dia obsess banget sama lo sejak kekalahannya tahun lalu.''

Ferrel bisa mengingat kejadian yang cukup membekas itu. Saat dirinya menumbangkan seorang pentinju kelas satu di Box, dan kemenangannya saat itu langsung membawa Ferrel menjadi petinju kesayangan Gito. Menggantikan tempat Revan. ''Bukan cuma Revan yang berkembang di sini. Lo pikir gue ngapain tiap hari?''

''Pacaran sama Flora?'' tebak Fionn. Membuat Ferrel harus memandangnya dengan kening berkerut.

''Kok jadi bawa-bawa Flora?''

Kali ini, seulas senyum hadir di bibir Fionn. Membuat Ferrel meyipitkan matanya karena mengerti  maksud sahabatnya itu adalah untuk meledak dirinya.

''Lo mau gue tonjok?'' tawar Ferrel.

Fionn kemudian tertawa. ''Ya elah..., santai napa. Gue gak masalah lo jalan sama Flora. Hak lo buat pacaran sama siapa aja.''

''Gue gak pacaran sama Flora.''

Fionn mendengus. Menyadari penuh jika ucapan Ferrel barusan sama sekali tidak berdasarkan pada kenyataan yang ada. Fionn terlalu mengenal Ferrel untuk bisa percaya dengan sebuah  kamuflase yang diberikannya begitu saja. ''Pesen gue cuma satu, 'usahain aja si Revan gak jadi orang pertama yang nonjok muka lo'. Ribet entar.''

Ferrel mendengus. Ia mengangkat bahu, lalu pergi dari sana. Ketika akan berbelok menuju perpustakaan, langkahnya terhenti karena teringat sesuatu. Ferrel buru-buru berbalik dan mengambil lorong terdekat menuju  kantin.

Ia mengambil langkah ke arah kantin yang paling sepi karena malas mengantri. Mengangguk singkat kepada ibu kantin, lalu mengambil dua buah roti di tengah meja dengan rasa coklat dan stroberi.

''Berapa, Bu?'' tanyanya. ''Dua puluh ribu.'' Sahut Ibu Kantin.

Selesai membayar, Ferrel kembali menapaki jalan menuju perpustakaan yang sepi. Berbelok di ujung lorong dan melewati jalan samping untuk sampai ke taman belakang.

''Lo kenapa jadi betah nongkrong di sini?'' Tanya Ferrel kepada sosok cewek yang sudah duduk dikursi panjang terlebih dulu. Tempat di mana bisanya dia duduk.

Edelweiss.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang