Melati hanya meringkuk, terlihat tidak ada gairah hidup. Beberapa hari ini dia memang tidak mendapat serangan fisik.
Hingga kabar, Anton yang ingin memiliki rumah sendiri menyapa telinganya. Melati mulai gelisah.
Entah kapan mereka pindah, namun tetap saja memikirkannya gelisah.
Apakah Anton akan semakin berani menyakitinya?
Melati semakin larut dalam pikirannya. Orang tua tidak menolongnya, semua orang yang kenal dan dekat mulai menjauh dan meninggalkannya sendirian.
Karma datang padanya begitu cepat. Fiana menjadi korban terakhir yang dia sakiti.
Ceklek!
Melati tersentak, dia tersadar dan menatap Anton yang datang dengan pakaian kacau dan wajah kusutnya.
Bau alkohol menyapa, membuatnya mual namun Melati hanya bisa menahannya dan diam-diam muntah jika memang terlalu tidak bisa menahannya.
Anton sibuk sendiri, seolah Melati tidak ada. Melirik pun tidak ingin. Dia melepas semuanya, lalu menyegarkan diri dengan mandi.
Terlalu banyak sentuhan manusia di tubuhnya. Di raba-raba wanita seolah itu hiburan untuk melupakan sejenak rasa kecewa pada dirinya sendiri.
Anton mengguyur dirinya sendiri, mencoba menikmati air dingin yang berjatuhan menyerangnya.
Enak sekali lalu mematikannya untuk disabun dan mencuci rambut. Terlihat tenang menikmati lalu selesai itu mengeringkan rambut dan keluar dengan jubah handuk.
Anton tidak memperdulikan apa-apa lagi. Dia tidur di tempatnya, tentu dengan mengabaikan Melati yang terus menatap pergerakannya dengan waspada.
Anton lelah hati, membuatnya tak lama untuk tidur terlelap.
Melati menghela nafas lega dan baru setelah itu dia bisa mencoba tidur dan berpetualang di alam mimpi yang lebih indah.
***
Anton membuka matanya, dia harus bersiap berangkat ke kampus. Mencoba untuk bangkit walau tetap malas belajar.
Anton bersiap dengan cepat, meraih keperluan ini itu dan pergi begitu saja.
Melati yang duduk di sofa hanya menatap dalam diam sampai Anton pergi.
"Apa setak kasat mata itu?" gumam Melati sendu.
Melati mulai memakan sarapannya lagi. Perutnya lebih penting walau tidak berhenti mual dan muntah.
Anton biasa, berbaur walau tidak seseru saat SMA. Dia kini menjadi diam, tertawa sekenanya lalu kembali diam.
Mereka teman barunya selama di kampus, menganggap semua tingkah Anton itu normal, padahal tidak seperti itu.
Hanya Alva dan Anwar yang tahu bagaimana aslinya.
***
"Rumah? Bunda ga bisa lepas kalian, terutama kamu, Anton. Melati sedang hamil, kamu tetap mengasari dia, berani bahkan di depan bunda!" omel Talia.
"Aku tetep pindah, terserah dia ikut atau engga," Anton tidak bisa terus di rumah, Talia selalu mengomelinya yang pulang malam.
Anton akan terus mencari hiburan itu. Makanya dia harus segera pisah rumah, dengan alasan ingin membangun rumah tangga sendirikan bisa.
Tapi di sini Talia sulit di bujuk.
"Aku pindah lusa, rumah udah dapet di bantu Alva," Anton akan mencari uang sendiri kelak, melihat ayahnya yang seperti enggan memberinya uang karena marah dengan semua yang terjadi.