Melati menatap bekas coklat yang sudah tidak tersisa satu pun. Sisa satu dia dan Anton merebutkannya sampai dalam ciuman.
Jorok namun bagi Melati rasanya Anton mulai usil walau masih terkesan ketus dan menyebalkan.
"Aw!" Melati mengusap pipinya yang mendapat cubitan yang memang tidak terlalu sakit.
Anton melintas tanpa dosa.
Tuhkan, Anton mulai usil walau tampang kadang masih tak bersahabat.
"Anton," panggil Melati pelan agak sebal namun dengan senyum tipis.
"Apa sih!" Anton sibuk di depan kulkas yang terbuka.
"Waktu begituan kok baik banget," Melati menatap punggung Anton yang terlihat nyaman di sandari.
Anton tidak merespon. Dia meraih satu minuman. "Buka baju lo! Itu kaos gue, sekarang!" tegasnya.
"Apa?" Melati menghela nafas sabar. Biasanya juga boleh.
"Di sini!" kesal Anton ngegas.
Melati kembali mencoba sabar. Melepas kaosnya membuat tubuhnya polosan hanya memakai CD.
Anton menatap dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Cukup banyak jejak merah.
"Lo cekep," ujarnya tiba-tiba sambil pergi meninggalkan Melati yang terheran namun berakhir terkekeh.
"Anton, aku boleh pake lagi?"
Anton tidak berbalik. "Terserah! Lo cakep polos sih," jawabnya tanpa berhenti melengakah menuju kamar lagi.
Melati tersipu, dia jadi semakin percaya diri walau saat ini dia menjadi gemuk hanya dalam waktu singkat.
Melati mengusap perutnya, yang kata Anton indah dengan tatto yang dibuat oleh hormon dan pecahnya sel kulit akibat pelebaran itu.
***
"Anton,"
"Apa sih!"
Melati menghela nafas. "Ini, ada undangan nikahan," jelasnya sambil mengangsurkan satu undangan pernikahan.
Anton meraih dan membaca itu. Tetangga mereka akan mengadakan acara pernikahan. Jelas mereka harus hadir karena masih menjadi anggota di daerah sini.
"Terus masalahnya?"
"Aku—" Melati berdebar ragu. Dia memainkan jemarinya sendiri dengan gugup.
"Apa!" ketus Anton jengkel.
"Itu, ga ada gaun. Gimana?" cicitnya.
"Ck! Mall banyak! Beli aja," Anton lanjut dengan laptopnya.
"Makasih," Melati tersenyum senang. Hari ini atau besok sudah harus ada karena setelah itu akan ada acaranya.
"Kamu—"
"Apa?! Gue juga ikut, gue ga ada pakaian resmi," potong Anton tanpa menatap lawan bicara.
Walau terlihat fokus, aslinya dia tetap mengamati gerak-gerik Melati dari sudut matanya.
Melati semakin senang. Namun tak lama kembali gelisah. Kapan mereka akan beli melihat Anton sepertinya sibuk.
"Apa lagi?!"
Melati tersentak pelan agak kaget. "Itu, kapan perginya?" tanyanya cepat.
"Besok."
Melati menghela nafas lega. Akhirnya dia bisa bertanya tuntas. Beli apa ya, gaun hamil dari kain biasa atau batik?
Hari ini Anton telat pulang, sepertinya memang sibuk kuliah.
"Lo ambil di tas, ada kotak kecil buat lo. Gue lagi gabut sore tadi," Anton tidak melirik, fokus mengetik di laptop.
Melati beranjak ke kamar, dia melihat tas itu di kamar. Dengan hati-hati membuka kotaknya juga.
Melati melotot samar. Sebuah gelang emas asli yang mengkilap cantik. Kotak yang membungkusnya terlihat ada tulisan valentine.
Apa ini kado valentine kemarin?
Melati menggigit bibir terharu lalu bergegas keluar kamar.
Melati memeluk leher Anton dari belakang sofa. Mengecup pipinya dengan haru.
"Makasih," bibirnya bergetar haru bahagia. Anton benar-benar mencoba menerimanya. Melati tidak akan ragu lagi walau di balas ketus.
"Ck! Ga usah cengeng!" ketus Anton namun segera menyeka air mata haru itu.
Anton menoleh ke belakang, mengecup pipi Melati juga.
"Bagus banget, makasih." Melati menatap gelang itu lagi namun segera melepas pelukannya.
Melati sadar, ada satu lagi yang kecil. Gelang untuk bayi?
"Anton?"
"Buat anak gue. Apa? Ga suka?"
"Ck! Suka!" Melati kembali memeluk dan terisak tak tertahankan.
"Jangan sampe gue banting laptop, berhenti nangis!"
***
Melati menatap gelang di tangannya dengan senyuman. Begitu cantik, mengkilap mahal. Dia sungguh senang.
"Nanti kembar sama mama, ya?" Melati mengusap perutnya sayang.
Anton tiba-tiba muncul. "Ga usah lebay, gue takut liat lo senyum sendiri," lalu duduk di sampingnya.
Melati langsung nemplok di lengan Anton, tanpa ragu lagi. Anton terlihat abai walau dalam hati ikut senang.
"Gue mau ayah,"
Melati menautkan alis belum paham atas celetukan Anton.
Anton menoyor manja kening Melati, sekaligus untuk menjauhkannya agar tidak terlalu dekat. Takut Anton lepas kendali.
"Apa-apaan lo panggil gue papa!"
Melati mengulum senyum. Oh ternyata soal itu. Astaga, dia kembali bahagia. Rasanya mimpi. Dia pikir selamanya akan terpuruk.
"Ck! Ngapain liat—" Anton terhenyak saat bibirnya di tabrak bibir Melati.
Melati memeluk pinggang Anton, memperdalam ciumannya dan Anton pun membalas. Menyentuh belakang kepala Melati.
Keduanya jadi berciuman.
"Orang tua gue katanya mau ke sini, entah kapan." Anton berujar setelah melepaskan pagutan.
Melati tidak menjawab, dia malah membelitkan lengannya ke leher Anton dan kembali menyerang bibirnya.
Anton membalas. Mana mungkin menolak yang enak-enak.
"Gue mau libur hari ini, jangan mancing!" bisiknya.
Anton tidak ingin Melati lelah meladeninya yang selalu ingin. Sesekali harus libur.
"Aku ga papa,"
Anton melepaskan lengan Melati di lehernya. "Gue ga mau di—" Anton melirik perut Melati. "Gue mau libur, titik!" tegasnya.
Anton pun ingin tapi dia tidak mau mengambil resiko. Cukup kehilangan Putri, jangan dengan yang lain.
"Hm, makasih perhatiannya." Melati memeluk Anton, membiarkan perutnya dekat dengan Anton.
Anaknya akan sangat senang, sebagaimana Senangnya Melati kini.
Anton tersenyum samar, bersandar pada sofa dengan santai. Membiarkan Melati merapat padanya.
Anton terlihat rileks. Entah karena tugas selesai atau suasana yang kini terbangun. Anton merasa tenang tanpa ada yang mengganjal di hatinya.