"Hadiah dari suami kamu yang gengsinya selangit," bisik Inaya. "Jangan bilang ke dia.. Ntar marah kek cewek.." bisiknya lagi.
Melati mengulum senyum agak tersipu. Dia tatap amplop panjang itu lalu mengeluarkan tiket honeymoon.
"Makasih, Inaya.." Melati terlihat lebih tulus dari pada yang dulu. Mungkin pengalaman dan pelajaran hidup menyadarkannya.
Melati mengusap perutnya. Dia dan Anton memang tidak pergi ke luar kota apalagi negeri, mereka liburan sekaligus babymoon masih di dalam kota walau perjalanan butuh berjam-jam untuk sampai ke tempat itu.
"Satu lagi," Inaya mendekat pada Melati dan berbisik. "Soal cek kandungan, sama kayak gini. Dia minta tolong, emang gengsi parah," bisiknya.
Melati tersenyum kian cerah mendengar fakta itu. Anton cukup memperdulikannya walau tertutup gengsi. Melati selalu senang memikirkan itu.
Melati kian berdebar haru. Apakah masa depannya benar-benar akan lebih baik? Dia tidak butuh kekayaan yang melimpah lagi.
Dia hanya ingin Anton menyayanginya dan bayinya.
Itu sangat cukup.
Melati akan melupakan masa lalu yang menyakitkan.
***
"Gue pulang—" Anton terhenyak kaget saat Melati memeluknya sebagai sambutan, perut buncit itu menghalangi namun tetap terasa enak.
Anton hanya diam pura-pura biasa saja walau ada rasa senang yang dia rasakan dibalik gengsinya.
"Ngapain?"
Melati mengurai pelukannya, mendongak menatap Anton dengan senyum cerah yang begitu tulus.
Alis Anton bertautan. Ada apa dengan Melati?
"Makasih banyak," ucapnya dengan bibir sedikit bergetar menahan haru. "Cinta kamu, Anton!" lalu kembali memeluk untuk mengusap air mata harunya ke pakaian Anton.
Anton terdiam. Entah apa yang membuat Melati begini. Dia balas memeluk Melati.
"Gue tahu! Ga mungkin ada orang yang engga jatuh cinta sama gue, apalagi kita udah nikah," balasnya dengan percaya diri, mencoba mencairkan suasana yang hampir canggung dan haru.
Melati terkekeh pelan tanpa ingin melepaskan pelukannya.
"Gue tahu, gue nyaman. Bisa lanjut pelukannya nanti? Gue gerah mau mandi.."
Melati melepaskan pelukannya. "Maaf," sesalnya.
Anton mengecup kening Melati sekilas sebagai balasan lalu segera ke kamar mandi. Di luar sungguh panas, Anton tidak bohong.
***
Anton menatap Melati yang mendekat dan memeluknya lagi. Kenapa hari ini Melati seperti lintah yang tidak bisa jauh dari darah.
Melati terlihat ndusel nyaman, mendengarkan detak jantung Anton. Mungkin karena saat hamil muda tidak bisa manja-manja, di saat ada kesempatan seperti hari ini membuatnya tak bisa melewatinya.
Anton terus menatap tingkah Melati yang seperti anak kucing itu. Manja sekali. Apa ada sesuatu yang membahagiakan dan dia tidak tahu?
"Lo kenapa?" ketus Anton saking penasaran membuatnya jengkel.
Melati terus begitu seharian ini.
Melati mendongak kaget. "Aku ga boleh gini?" suaranya memelan terdengar sedih.
Anton sontak mendatarkan wajahnya. Bukan itu yang dia maksud. Anton berdecak. "Siapa yang larang sih!" sewotnya lalu kembali menatap televisi.
Melati tersenyum dan kembali memeluknya manja. Anton menghela nafas sabar. Mungkin ini hanya bentuk dari manjanya Melati saja.
"Cinta banget sama kamu, Anton." ujar Melati gemas sambil ndusel sekilas.
Anton kembali menatap Melati dengan alis bertaut. "Jujur sama gue. Lo lagi mau apa?" tanyanya serius.
Melati mengulum senyum lalu mendongak menatap Anton lagi. "Kamu." jawabnya dengan tatapan cinta yang lebih berani lagi.
Anton kicep sesaat lalu berdehem. "Gue lagi sakit pinggang," balasnya so menolak.
"Aku ga ke arah situ," Melati menahan senyum gelinya.
Anton menautkan alis galak.
"Aku mau kamu ini, kenapa harus lewat Inaya?" Melati tidak tahan lagi. Maaf Inaya. Dia ingin Anton menghilangkan gengsinya.
Anton menatap amplop yang sangat dia tahu. Inaya memang tidak bisa di andalkan. Dasar sahabat Pengkhianat!
"Terus kenapa? Ga suka?"
Melati mengangguk. "Jangan gengsi lagi, aku bahagia banget kalau kamu yang kasih dan ajak langsung." pintanya memelas cantik.
Anton berpaling sejenak lalu menatap lagi Melati. "Oke. Lo mau honeymoon atau babymoon?" tanyanya malas.
"Ga romantis!" protes Melati dengan menunduk pura-pura sedih dan kecewa.
"Lo banyak maunya ya sekarang!" semprot Anton.
"Engga. Cuma mau kamu,"
"Ck! Udah bisa gombal juga!"
Melati tertawa pelan mendengar omelan galak Anton.
"Ketawa lagi!"
Melati terlihat begitu lepas. Anton sampai membeku melihatnya. Begitu cantik. Terlihat berisi dan bahagia.
Ternyata dia belum terlambat membahagiakan ibu dari anaknya.
Anton membelit Melati, mengecupi kepalanya beberapa kali. Tanpa kata, hanya begitu.
Melati mengulum senyum, mengusap punggung Anton naik turun. Hari ini Melati sungguh bahagia.
***
"Serius?" Anton mulai jengkel dipepeti terus. Melati terlalu menjeratnya. "Hari ini gue libur, jangan bikin gue pergi keluar!" tegurnya.
Melati melepaskan jeratan di lengan Anton. Dia juga tidak tahu kenapa begitu ingin merapat pada Anton.
"Udah 8 bulan, sebentar lagi.." Melati mengusap perutnya. "Kamu malah ga lirik aku," sendunya.
Anton menghela nafas sabar. Dia tidak menyentuhnya semalam saja. Dia sungguh sakit pinggang walau sangat ingin.
"Aku jadi ga percaya diri," lirih Melati.
"Astaga.." gumam Anton. "Malam ini kita lakuin, mau gaya apa?" dia kukung Melati di dekat kulkas itu.
Melati mengulum senyumnya. "Yang enak sama ga bahaya aja," jawabnya singkat dan cepat.
"Lo bener-bener lagi mau?" Anton menatapnya penuh selidik.
Dengan jujurnya Melati mengangguk.
"Ga cape?"
"Dikit."
Anton terkekeh pelan. "Jadi, sayangku Melati.." Anton membingkai wajah Melati. "Lo mau ga kalau kita babymoon?" tanyanya lebih lembut.
Melati mengulum senyumnya yang hampir merekah tak tertahankan. Kepalanya mulai mengangguk.
"Ga usah nakal," Anton menahan lengan Melati yang jemarinya menyentuh pedang ajaib itu.
Melati terkekeh lalu ndusel dan memeluk Anton lagi walau sulit karena perutnya yang buncit.
Anton tersenyum di atas kepala Melati. Dia sandarkan dagunya di sana sambil mengusap punggung dan kepala Melati.
Astaga... Keduanya merasa nyaman.