"Makasih untuk semuanya, Alia.." Melati harus berpamitan dengan baik, takutnya kelak terjadi sesuatu dan mereka tidak ragu menerimanya lagi.
Alia memeluk Melati dengan cemas. "Kita harus selalu satu kontak, kelak jangan lupa terus telepon nomberku," bisiknya.
Melati mengangguk haru. Alia menjadi satu-satunya orang di saat dia terpuruk melawan mental diri sendiri dan luka dari orang lain.
"Kalau dia sakitin lagi, jangan ragu laporin, demi anak yang ada di perut, Melati. Jangan takut," Alia mengurai pelukannya.
Alia berjanji, dia akan membantunya. Entah kenapa, Melati berhasil menarik rasa pedulinya.
"Iya, makasih ya, Al.. Aku pasti kangen kerja sama kamu, di bentak boss juga karena aku ceroboh," kekehnya.
Alia tersenyum, bagaimana bisa ada manusia yang berpura-pura sehebat Melati. Namun mata tidak bisa berbohong, betapa lelah mentalnya.
"Kamu harus bahagia,"
Melati hanya berkaca-kaca. Ini bukan perpisahan. Melati tidak akan melupakannya. "Kapan-kapan main ke rumah, kalau Anton ga ada," dia tidak ingin mengambil resiko.
"Hm, ayo.. Nanti kita makan bareng, sehat-sehat kalian," Alia mengusap perut bulat Melati. Mendoakan anaknya agar bisa membawa kebahagiaan untuk keduanya.
Seburuk apapun Melati, dia berhak diampuni. Dia berhak bahagia dan berubah. Apalagi Melati mengakui kesalahannya dan hendak berubah.
"Foto dulu, sini.." ajak Alia.
***
Melati tidak tahu, setelah biasa kerja dan saat berhenti rasanya membosankan. Lebih baik dia bersiap memasak.
Melati fokus dengan semua bahan lalu menatap Anton yang baru datang.
"Minggir!" bentak Anton.
Melati segera menyingkir. Anton dengan emosinya sungguh menyebalkan. Kali ini apa yang membuatnya sejengkel itu?
Melati memilih melanjutkan memasak, mencoba menyeka peluh dengan nafas agak terengah. Perutnya terasa memberat tentu saja.
Melati tersenyum. Timbangannya mulai naik, anaknya juga pasti gizinya terpenuhi mengingat apa yang diinginkan oleh Anton sehat semua.
Melati bersyukur soal itu.
"Uhuk! Uhuk!" Anton menghampiri dengan wajah kesalnya. "Lo masak apa sih?!" amuknya lalu kembali batuk.
"Maaf," panik Melati, mungkin karena ada cabainya.
Anton berdecak kesal, dia meraih gelas lalu mengisinya dengan air. Meneguknya dan pergi setelah itu.
Melati kembali bernafas lega.
"Sabar," gumam Melati lalu menuntaskan semuanya dengan segera. Anton harus segera makan malam.
Melati terlihat lebih segar. Mungkin karena sudah tidak bekerja juga.
"A-Anton, udah siap." ujar Melati pada Anton yang menonton televisi.
Anton melirik tajam namun tetap beranjak, mulai duduk di tempatnya dan menerima semua pelayanan Melati tanpa banyak mengeluh.
Anton menatap peluh dan basahnya poni Melati. Dia hanya sedang menghargai usaha Melati.
"Gimana?" tanya Melati ragu namun dia penasaran, takutnya semakin tidak enak masakannya.
"Mayan." singkat Anton dengan dingin.
Melati lega mendengarnya dan mulai makan juga. Anton tidak bohong, rasanya tidak buruk.
Keduanya asyik sendiri, sesekali Anton ingin ditambah lauknya dan Melati dengan senang hati menambahkan itu.
Setelah selesai, Anton memerintahnya untuk mengupas mangga. Melati mengabulkannya.
"Ini."
"Lo bikin kebanyakan!" ketus Anton. "Lo bantuin makan!" tegasnya.
Melati mengangguk saja, mencobanya tak banyak karena kenyang walau pada akhirnya Anton menghabiskannya.
"Anton, aku boleh tanya?"
"Apa?" ketus Anton.
Melati jadi menciut namun tetap ingin bertanya. Harus!
"Biaya persalinan, aku baru ada sedikit," cicitnya berdebar.
"Hm," gumam Anton malas, kembali menatap televisi tanpa respon lebih.
Melati jadi gelisah di duduknya.
Anton melirik Melati yang terus mencuri-curi lirik padanya. Dia bisa merasakan tatapannya itu.
"Gue yang tanggung!" tegasnya melotot galak. "Pakaiannya juga, lo tinggal atur kapan belinya!" tambahnya.
Melati antara lega, sedih dan takut. Kenapa juga harus segalak dan seketus itu. Dasar Anton, gengsi membuatnya menjadi tukang gas.
"Iya, makasih," balas Melati pelan.
"Jadi kapan?" sentak Anton yang membuat Melati agak kaget.
"Anu, ngikut kamu." cicitnya gelisah.
Anton menyeka agak kasar sesuatu di bibir Melati, itu mengganggunya. Dia beranjak.
"Kalau gitu, malam ini lo hibur gue,"
Lagi? Pekik Melati dalam hati. Malam kemarin sudah.
Padahal Anton hanya ingin merasakan pergerakan di perut Melati, ingin melihat perut bulat itu namun gengsi, makanya dia memilih bercinta sebagai alasan.
Padahal Anton tidak sehyper itu.
***
Tidak ada bercinta. Keduanya memang sudah sama-sama polos tapi hanya berakhir Anton terlelap dengan lengan membelit perut bulatnya.
Melati mengerjap. Apa mungkin karena Anton lelah sampai tertidur. Bahkan hanya ciuman dan grepe-grepe tanpa bertindak jauh.
Melati merasa kecewa tanpa sadar. Namun memilih menepis semua rasa itu. Perlahan dia melepas pelukan Anton, dingin membuat Melati ingin berpakaian, tak apa hanya kaos juga.
Melati berhasil lepas dari Anton. Dia bergerak membawa tubuhnya perlahan, perutnya dia usap pelan lalu meraih kaos Anton. Hanya itu yang dekat.
Melati kembali rebahan, masuk ke dalam selimut dan tersentak pelan saat Anton merapat untuk memeluknya lagi.
Melati lega, Anton tidak marah atau bangun.
Malam ini dia akan kembali tidur nyenyak.