part 2

24 4 2
                                    

                       |LAST 29 DAY|

•Happy Reading•

Revin berjalan menuju kelasnya bersama seorang perempuan yang memandangnya dengan tatapan cemas. Perempuan itu menuntun Revin sambil berjalan untuk mengawasinya.

"Lo yakin tetep mau sekolah? Kata gue mending lo izin aja. Yang ada nanti makin parah." Ucap perempuan itu dengan wajah yang sudah panik sedari tadi.

"Gapapa, Dei." Jawab Revin singkat.

"Gapapa gimana? Lo gak inget sama kata dokter tadi? Ini antara hidup sama mati, Rev." Perempuan itu sedikit kesal dengan jawaban Revin yang terlihat biasa saja.

Ainsley Deinaya Shaylin, teman masa kecil Revin yang masih bersamanya hingga saat ini, bahkan sudah seperti adiknya sendiri. Apapun masalah yang Revin miliki, pasti Deina akan mengetahuinya. Entah darimana dia tahu semua itu.

"Udah pasti mati." Ucap Revin yang sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya nanti.

Deina yang mendengar itu tampak tidak setuju lalu memeluk Revin se erat mungkin.

"Jangan ngomong kayak gitu, kesempatan pasti ada walaupun cuma satu persen. Percaya sama gue, intinya jangan banyak pikiran. Cerita sama gue kalo lo bener-bener udah gak kuat sama keadaan." ucap Deina yang sudah terisak di pelukan Revin yang terasa hangat.

"Takdir gak ada yang tau, gak usah nyalahin diri sendiri." Ucap Revin untuk meyakinkan Deina.

Deina yang mendengar itu spontan melepaskan pelukannya dan menatap Revin kesal. "Ngaca dikit kali. Lama-lama gue aduin nih sama nyokap lo."

Melihat perubahan wajah Revin membuat Deina sadar dengan apa yang baru saja dia katakan.

"S-sorry, Rev. Gue gak bermaksud..."

"Gapapa."

Saat ini Deina sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Masih berpikir mengapa bisa dia keceplosan seperti itu. Karena dia tahu betul bagaimana Revin jika sudah dibuat marah oleh seseorang.

"Kenapa diem?" Tanya Revin sembari menaikkan sebelah alisnya.

Mendengar ucapan Revin membuat Deina sadar dari lamunannya.

"Maaf soal yang tadi." Sesal Deina sembari menundukkan kepalanya.

"Santai aja." Jawab Revin lalu berjalan menuju kelasnya tanpa Deina.

"IH KOK GUE DITINGGAL SIH?" Deina lantas mengejar Revin yang meninggalkannya di koridor sekolah.

Revin yang baru saja duduk di bangkunya sudah didatangi oleh dua lelaki yang mencegat nya tadi pagi.

"Widih, cupu kombek cuy. Kenapa gak bolos aja sekalian?" Ucap Rey sambil duduk di meja dan menaikkan satu kakinya.

"Bener tuh, kirain udah mati. Tapi kalo mati okelah ya, ilang deh beban kita." Ucap Nathan dengan tertawa keras.

Revin hanya menatap mereka berdua datar seperti biasanya. Hal itu juga sudah biasa bagi Nathan dan Rey. Namun, kali ini mereka merasa ada yang aneh pada Revin.

"Ni anak kenapa dah. Gak seru elah kalo dia diem gini." Bisik Nathan pada Rey yang mendapat anggukan dari si empu.

"Bosen juga kalo ngurung dia di kamar mandi kek biasanya. Bikin dia sampe masuk ruang BK juga udah pernah. Tapi anehnya itu gak ngaruh sama nilainya. Gue aja ketauan gosipin kepsek doang sampe ngadep sama kepsek nya langsung." Rey juga berbisik pada Nathan supaya tidak didengar oleh Revin.

Nathan berpikir sejenak, lalu menarik lengan Rey menuju ujung kelas. "Gue ada ide."

"Ide apaan tuh? Tapi kalo sampe ketauan kepsek lagi gue gak ikutan ya." Rey semakin penasaran dengan rencana Nathan, tetapi masih trauma jika harus berhadapan dengan kepala sekolah lagi.

"Udahlah tenang aja, gue yakin rencana kali ini lebih asik dari sebelumnya." jawab Nathan dengan penuh percaya diri.

Mereka berdua tertawa keras sampai terdengar oleh Revin, membuatnya sedikit penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.

Deina yang baru saja memasuki kelas juga melihat kelakuan kedua lelaki yang menurutnya tidak waras itu.

"Kayaknya emang bener kalo gue yang terwaras di sini." gumamnya pelan.

Meskipun pelan tetapi pendengaran kedua lelaki itu sangatlah tajam, Rey mulai merasa kesal dan berjalan mendekat pada Deina lalu mencengkram kerah baju gadis itu dengan erat.

"Butuh kaca, mbak? Cuma orang yang gak waras yang nganggep dirinya waras." Rey menatap tajam kearah Deina, hal itu membuat Deina sedikit takut dan tidak berani memberontak.

Namun tiba-tiba ada seseorang yang mendorong Rey ke belakang dan membuatnya hampir terjatuh.

"Jangan kasar sama cewek." ucap Revin dingin.

Rey terkekeh kecil melihat itu. "Gak usah sok jagoan lo. Baru dipentung pake kayu aja udah pasrah."

Revin terdiam mendengar hal itu. Berusaha mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh Rey.

Nathan mengangguk membenarkan ucapan Rey, lalu mengajaknya pergi ke kantin.

"Rev, apa maksud omongan Rey tadi? Lo dipentung pake kayu? Kapan? Sakit gak?" tanya Deina sedikit khawatir. Bukan, ini lebih khawatir.

Revin hanya menggeleng pelan sembari tersenyum kecil. "Udah biasa."

Gadis itu tampak prihatin dengan temannya itu. Ia tahu, dibalik senyumannya itu terdapat luka didalamnya.

Deina memeluk Revin erat sembari menangis sesenggukan. "Jangan tinggalin gue. Lo rumah gue. Kalo lo gak ada berarti rumah gue juga gak ada."

Revin membalas pelukannya dengan jauh lebih erat. Tak tega melihat temannya yang sedih seperti ini. "Maaf, tapi kalo udah diujung gini, cuman bisa pasrah, kan?"

Deina menggeleng cepat. "Gak, jangan pasrah gitu aja. Pasti ada jalan lain."

"Apa yang lo takutin dari gue?" tanya Revin sembari mengusap lembut rambut Deina.

"Gue takut kalo lo pergi. Lo sempurna di mata gue, bahkan lebih sempurna dari itu. Lo selalu berusaha nyembunyiin hal yang penting dari orang-orang, kan? Padahal itu penting, Rev. Dan orang lain berhak tau itu. Biarin mereka tau apa yang lo rasain, seenggaknya itu bisa bikin lo sedikit lega."

Revin menggeleng pelan. "Gak semudah itu, Dei. Gak ada satupun orang yang bisa dipercaya. Yang ada malah orang itu bakal ngebocorin rahasia ke banyak orang. Satu lagi, kebanyakan hal pertama lebih baik dari yang ke dua."

"Hal pertama lebih baik dari yang kedua?"

"Iya, ibarat kita punya benda kesayangan yang hilang, kita mungkin bisa beli yang baru. Tapi tetep aja rasanya beda sama yang pertama. Karena yang pertama lebih banyak nyimpen kenangan."

Deina mengangguk paham. Lalu melepaskan pelukan itu perlahan. "Janji kita tetep bersama?"

Revin terlihat ragu mendengar ucapan temannya itu.

"Gue gak bisa janji, tapi bakal gue usahain."

Deina tersenyum mendengar itu.

Revin tiba-tiba terpikirkan satu hal. "Hari ini tanggal berapa ya?"

"Oh, hari ini tanggal 29 Juni. Kenapa emang?"

Revin menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Deina sedikit penasaran. Jarang sekali Revin bertanya seperti itu. Oh ayolah, apalagi yang Revin sembunyikan sekarang? Mencari informasi tentang rahasia Revin itu tidaklah mudah.

TBC

Last 29 Day [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang