Part 7

19 3 2
                                    

                         |Last 29 Day|

•Happy Reading•

"Lain kali jangan mau dideketin cewek itu." ucap Deina dengan wajah kesalnya. Entah mengapa dirinya kurang suka jika melihat perempuan itu berada didekat Revin. Hatinya seakan panas melihatnya.

Deina menarik tangan Revin menuju tempat parkir. Membuka pintu dan mempersilahkannya untuk masuk.

"Gue pulang sendiri." Revin melepas genggaman tangannya dari Deina.

Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. "Pulang ke mana? Katanya lo diusir."

Revin termenung sejenak. Benar juga apa yang dikatakan Deina. Kini, ia sedikit bingung untuk mencari tempat tinggalnya setelah ini. Mustahil ayahnya akan menerimanya kembali setelah kesalahan yang ia perbuat.

"Ikut ke rumah gue aja dulu, masalah itu bisa dipikir nanti."

Revin mengangguk sebagai jawaban. Melangkahkan kakinya ke mobil dan menutup pintunya.

Mobil itu mulai berjalan meninggalkan sekolah mereka. Hari semakin gelap, burung hantu mulai berkicauan dan para nyamuk mulai mencari mangsanya. Air hujan yang turun menambah suasana hari yang mulai malam.

Deina yang fokus mengemudi mobil sesekali melirik ke arah Revin. Tatapannya kosong serta wajahnya yang sedikit pucat. Deina khawatir jika sesuatu yang buruk telah menimpa temannya itu. Sungguh, ia tak ingin kehilangan dirinya.

"Rev, saran gue mending lo berhenti sekolah aja."

Revin sontak terkejut mendengar itu. Oh ayolah, saat ini otaknya sedang tidak dapat mencerna apapun. "Kenapa harus berhenti?"

"Akhir-akhir ini lo keliatan nggak enak badan. Gue takut lo nanti--" belum selesai dengan ucapannya, Revin sudah lebih dulu mengulurkan jari telunjuknya, tepat di bibir gadis itu.

"Gue juga nggak mau jadi kayak gini." Ucapnya sedikit menggantung sembari menghela nafas kasar. "Lo satu-satunya orang yang gue percaya, tolong jangan kasih tau siapapun."

Baiklah, Deina mengalah. Ia hanya takut dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Revin kedepannya. Ia sangat menyayanginya, sebagai teman.

Selang beberapa menit, mobil itu berhenti tepat di depan rumah dengan corak putih polos yang bertingkat dua.

"Mau makan malam dulu? Pasti laper kan?" tawar Deina usai memasuki rumah itu.

Sebagai jawaban, Revin mengangguk dan duduk di kursi meja makan.

Deina mengambil sebuah piring dan mengambil nasi serta beberapa lauk untuk temannya yang sedang terdiam itu. Jujur saja, ia sangat bingung dengan apa yang Revin pikirkan saat ini. Meskipun ia bisa mengetahui apapun rahasia yang Revin sembunyikan entah dari mana, tetap saja ia tidak mengetahui seluruhnya.

"Kenapa lo diusir dari rumah? Ada bikin salah?" tanya Deina untuk memecahkan keheningan.

"Gara-gara ngehabisin uang satu milyar dalam seminggu."

Deina tampak tidak percaya dengan ucapan yang Revin katakan tadi. "Demi apa? Lo pake buat apa aja yang sebanyak itu? Shopping? Bahkan gue jarang liat lo keluar rumah kecuali ada urusan penting."

Revin masih terdiam. Entah dia tidak mendengar ucapan Deina atau hanya berpura-pura tidak dengar. Namun kali ini, lebih tepatnya akhir-akhir ini, ia merasa kurang fokus untuk sekedar memperhatikan dan memahami orang yang sedang berbicara padanya. Ada apa dengan otaknya?

Revin menghela nafasnya dengan kasar, tampak ragu untuk menceritakannya. Baiklah, siapa lagi yang mau mendengar ceritanya selain Deina?

"Sekitar 6 hari yang lalu, ayah ngasih uang ke gue sama Bang Jevin. Masing-masing dapet satu milyar, ayah bakal ngasih segitu perbulan. Jadi kesimpulannya, uang satu milyar itu nggak boleh habis sebelum bulan depan."

Deina mendengarkannya dengan saksama. "Terus kenapa bisa habis dalam seminggu?"

"Lo tau Nathan sama Rey? Mereka..." Revin tidak sanggup untuk melanjutkan ceritanya. Ia mengambil tas dan mengeluarkan sebuah buku yang terlihat sudah abu, seperti habis terbakar.

"Buku jelek gini mana selevel sama orang tajir. Buat gue aja boleh ya, kan."

Nathan mengambil buku itu dan bersiap untuk melemparnya ke api yang cukup besar.

"J-jangan"

BUGH!

"Diem atau gue tonjok lagi?"

Nathan mengulurkan buku itu pada Revin. Namun sebelum Revin mengambilnya, Nathan sudah lebih dulu menarik buku itu sehingga membuat Revin terjatuh.

Nathan menyunggingkan smriknya. "Mana 450 juta yang lo janjiin?"

"L-lagi nggak bawa uang, besok aja."

PLAK!

"Tinggal kasih aja apa susahnya sih?" Rey merasa puas melihat Revin yang penuh dengan luka. Yakni, wajahnya yang penuh lebam, darah yang menetes dari kepalanya, dan luka lecet di bagian lengan tangan serta kakinya.

"Yaudah, gue tunggu lo transfer besok. Karena lo telat ngasih uangnya, lo harus bayar dua kali lipat." Nathan mengambil buku yang sudah terbakar oleh api dan melemparnya ke arah Revin. Dengan sigap Revin menangkapnya.

Deina terlihat sangat marah setelah mendengar semuanya dari Revin. "Kenapa lo nggak ngelawan sih? 900 juta lo habisin cuma buat pembully kayak mereka? Seenggaknya laporin aja ke guru, minta keadilan sama mereka. Mental lo bisa rusak kalo terus terusan gini."

"Udah rusak dari dulu." jawab Revin dengan lirih, menunduk dan memegangi kepala dengan kedua tangannya. Jangan lupakan kepalanya yang sering berdenyut dan terasa sakit akhir-akhir ini.

Deina menatap sejenak buku yang sudah terbakar itu, terlihat seperti buku biasa. Namun, saat membuka lembaran terakhir di buku itu, ia menemukan sebuah tulisan yang bertuliskan Vindy Kayvania. Baiklah, ia mulai paham sekarang.

"Gapapa, kita bisa beli lagi. Buku tulis kayak gini ada banyak di toko."

Revin mengambil buku itu dari Deina. "Jangan, yang asli lebih baik daripada yang palsu."

"Palsu gimana?"

"Buku ini, nyimpen banyak kenangan. Kalo beli yang baru, nggak ada kenangannya sama sekali."

"Walaupun udah jadi abu kayak gitu?"

"Bahkan sampe hancur lebur pun, selagi masih bisa disentuh, nggak akan gue buang."

Tepat pada pukul 22.35, seorang remaja berusia 18 tahun berdiri di depan sebuah kontrakan yang dipenuhi dengan banyak lumut serta rumput liar. Melangkahkan kakinya ke dalam kontrakan itu dan mencari tombol sakelar untuk menyalakan lampu di malam yang begitu gelap. Akhirnya ketemu juga.

Sebaiknya ia tinggal di sini sementara. Sampai ia mencari pekerjaan agar bisa menggantikan uang yang ia habiskan itu.

Sepertinya genteng rumah ini bocor. Lebih tepatnya di kamar tidur, kamar mandi, serta ruang tamu. Oh, atau seluruhnya ya? Sudahlah, hal itu bisa diurus besok. Lebih baik istirahat dulu malam ini.

Jika bertanya mengapa Revin bisa menghabiskan uang satu milyar itu dalam waktu seminggu padahal ia baru menggunakannya 900 juta, sisanya sebesar 10 juta ia tabung untuk kebutuhan mendadak seperti ini. Dan 90 juta nya lagi, ia gunakan untuk membayar SPP sekolah.

Jadi, sebagian besar uang yang diberi ayahnya ia berikan pada dua orang yang selalu membully nya. Sepertinya mereka akan terus melakukan itu padanya sampai ia pergi.

Revin bersandar di dinding sembari menatap bukunya itu. Buku itu sudah menjadi separuh jiwanya. Kehilangan buku itu, sama juga kehilangan hidupnya. Haruskah ia mengakhiri hidupnya yang pahit ini? Sepertinya dunia tidak merestui dirinya untuk hidup di dunia yang indah ini, walau baginya adalah sebaliknya.

Ia menemukan sebuah cutter yang terletak tidak jauh darinya. Lihatlah, cutter itu masih bersih. Akan bagus jika dilumuri darah segar miliknya bukan?

"Jemput Revin, Ma."

TBC



Last 29 Day [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang