Part 6

17 4 2
                                    

                         |Last 29 Day|

•Happy Reading•

Hari pun berganti, pagi ini terlihat sangat cerah. Para ayam mulai berkokok, angin sejuk di pagi hari juga menjadi penyemangat untuk mengawali hari. Seharusnya begitu, tetapi tidak untuk seorang lelaki yang kini sedang menunduk di hadapan ayahnya.

"1 Miliyar langsung habis dalam seminggu? Jadi orang bisa hemat dikit gak sih? Coba deh pikir, emang uang segitu bisa didapetin dengan mudah?!" bentak Joviano dengan wajah yang sudah merah akibat amarahnya.

Revin hanya terdiam melihat ayahnya yang melempar sebuah tas sampai terjatuh di depan pintu.

"Baju sama perlengkapan lain udah ada disitu. Pergi dari sini dan cari tempat tinggal sendiri. Butuh uang? Kerja. Biar kamu tau betapa susahnya cari uang." ucap Joviano kemudian mendorong Revin ke luar dan menutup pintu dengan keras.

Revin mengehela napas dan menggendong tas kemudian berjalan meninggalkan rumah itu.

Ia berpikir sejenak sambil meneruskan perjalanannya entah kemana. Haruskah ia mencari kontrakan terlebih dahulu? Tapi jika dilihat dari jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 06.05. Itu artinya ia harus berangkat ke sekolah sebentar lagi. Tapi tidak mungkin ia berangkat ke sekolah dengan pakaian seperti ini. Masih memakai baju tidur, sandal jepit sebagai alas kaki, wajah yang sedikit lebam akibat tamparan dan pukulan dari ayahnya. Harus kemana ia sekarang? Baiklah, mungkin hanya itu caranya.

'Ting tong'

Sebuah bel berbunyi membuat pemilik rumah membuka pintunya. Ia terkejut ketika melihat siapa yang berada dihadapannya sekarang.

"Lo kenapa, Rev? Kok pake baju tidur gini? Sambil bawa tas lagi. Jangan bilang lo kabur dari rumah." ucap Deina merasa iba melihat kondisi temannya saat ini.

Revin menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. "Boleh numpang bentar? Gue bakal cari kontrakan habis pulang sekolah nanti."

Deina mengangguk dan mempersilahkan Revin untuk masuk ke rumahnya. Kemudian menyuruhnya untuk mandi dan sarapan.

Setelah Revin mandi, ia dihidangkan beberapa makanan untuk sarapan oleh ibunya Deina. Wanita yang hampir berkepala lima itu tersenyum dan mengisyaratkan Revin untuk memakan sarapannya.

"Revin ya? Udah jarang banget saya liat kamu. Gimana kabar orang tuamu?" tanya wanita itu dengan ramah.

Revin mengangguk dan tersenyum. "Alhamdulillah, sehat."

Senyum di wajah wanita itu semakin melebar, ia mengusap rambut Revin dengan lembut. "Udah gede ya, terakhir kali saya liat kayaknya kamu masih SMP. Tepatnya sebelum kejadian Itu."

Revin yang sedang mengunyah makanan sedikit tersedak mendengar itu. Wanita itu sontak mengambil segelas air putih dan memberikannya pada Revin.

"Maaf, Tante." ucap Revin lirih setelah meminum air tadi sampai habis.

"Gapapa." wanita itu memeluk Revin erat layaknya anak sendiri. "Kata-kata saya tadi bikin kamu nggak nyaman ya? Maaf, saya nggak bermaksud lancang."

Revin membalas pelukan itu lebih erat, merasa hangat dengan pelukan itu.

Deina yang sudah siap akan berangkat ke sekolah melihat hal itu. Ia tersenyum, kemudian berjalan mendekati mereka dan ikut memeluk mereka. "Udah mau jam tujuh nih, Deina sama Revin berangkat dulu ya, Mi."

Wanita itu mengangguk dan melepas pelukannya. Deina bersalaman dengan ibunya diikuti dengan Revin.

Wanita itu tersenyum lagi saat melihat mobil yang ditumpangi mereka sudah mulai menjauh.

'Vin, harusnya kamu liat keadaan anakmu saat ini.' Batinnya sembari mengingat temannya yang sudah tiada itu.

Tepat pukul tujuh kurang lima menit, mobil itu sudah memasuki area parkir. Saat Revin membuka pintu mobilnya, ia sudah disambut dengan seorang gadis dengan puppy eyes nya. Deina sedikit risih melihat itu.

"Pagi, Rev. Mau ke kelas bareng nggak? Atau kita bisa mampir dulu ke kantin buat ngobrol ngobrol dulu." ucap gadis itu dengan senyuman yang sangat lebar di wajahnya.

Sebelum gadis itu menarik tangan Revin, Deina sudah lebih dulu menariknya untuk menjauh dari gadis itu. "Nggak ada waktu. Lo nggak liat udah mau bel masuk?"

Gadis itu terkekeh kecil sembari menganggukkan kepalanya. "Santai dong. Emang situ pacarnya? Nggak 'kan? Jadi, lo nggak ada hak buat ngatur-ngatur gue."

Deina tidak menghiraukan ucapan gadis itu dan berjalan meninggalkan gadis itu sendirian di sana.

Gadis itu terkekeh lagi. "Gitu doang cara mainnya? Anak TK juga bisa kali."

------>

Bel telah berbunyi, para siswa langsung duduk di bangkunya masing-masing. Guru matematika sudah memasuki ruang kelas dan memulai pelajaran.

Sepanjang pelajaran, Revin tidak fokus sama sekali. Otaknya sulit untuk mencerna materi yang disampaikan oleh guru. Di satu sisi Revin masih memikirkan di mana ia harus mencari kontrakan untuk tempat tinggalnya, tapi di sisi lain ia juga harus fokus pada pelajaran. Oke, kepalanya mulai pusing sekarang.

Guru itu sedari tadi menyadari bahwa Revin terlihat tidak memperhatikan pelajarannya. Ia menghampiri Revin dan mendobrak mejanya dengan keras.

BRAK!

Revin sontak terkejut dengan hal itu, kemudian menatap guru itu dengan lekat.

"Ngelamun kayak tadi lagi mikirin apa? Buruan sana kerjain soal di papan tulis." perintah guru itu cukup kasar.

Guru itu memang masih muda, namun beliau dikenal dengan sikapnya yang kasar dan pemarah pada para siswa. Hal itu membuat para siswa otomatis tunduk padanya.

Baiklah, dibalik wajahnya yang tanpa ekspresi ini, sebenarnya jantungnya sudah berdetak cukup kencang ditambah dengan keringat dingin di seluruh tubuhnya. Revin berjalan menuju papan tulis dan mencoba untuk mengerjakan soalnya.

Ia mengerjakan soal itu dengan baik. Namun ditengah-tengah itu, kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit seperti biasanya. Ia menjatuhkan spidol dan langsung memegangi kepala dengan kedua tangannya.

"K-kenapa harus kambuh sekarang sih?" gumamnya pelan.

Guru yang melihatnya tampak bingung. Ia menepuk pundak Revin untuk menyadarkannya. "Lagi nggak enak badan? Ke UKS sana."

Revin hanya menggeleng, tidak sanggup untuk mengatakan sepatah katapun.

"Enggak gimana? Kepalanya dipengangi kayak gitu--" ucapan guru itu terpotong ketika bel istirahat telah berbunyi.

"Soal yang tadi jadi PR, besok harus udah ada di meja saya." ucap guru itu kemudian keluar dari ruang kelas.

Deina menghampiri Revin yang masih terdiam di tempat. "Udah dibilangin jangan kecapekan. Lagi mikirin apa sih? Kalo butuh apa-apa bilang aja ke gue, pasti gue bantu."

Ia berpikir sejenak, lalu menganggukkan kepalanya saat ia sudah terpikirkan suatu hal di otaknya. "Tunggu di sini, gue beli minuman dulu buat lo. Atau sambil nunggu, lo duduk aja di kursi, nanti gue nyusul."

Melihat Deina yang sudah pergi, Revin menunggu sembari duduk di kursinya. Kelas terlihat sepi karena para siswa sedang beristirahat di kantin.

Beberapa saat kemudian, ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. Mungkin saja itu Deina. Oh, bukan ya. Itu adalah Selena yang memandangi nya dengan senyuman lembut di wajahnya.

"Sendirian aja, Rev? Mana cewek lo itu? Atau butuh cewek baru, hm?"

TBC








Last 29 Day [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang