|LAST 29 DAY|
•Happy Reading•
Sebuah mobil Lamborghini berhenti tepat di depan rumah bertingkat tiga. Jika dilihat-lihat rumah itu juga luas. Terlihat seorang remaja lelaki yang keluar dari mobil itu. Jika bertanya mengapa Revin diantar pulang oleh Deina, jawabannya adalah karena Deina sendiri yang memaksanya tadi. Mengapa bukan supirnya saja yang menjemputnya? Mereka memang memiliki seorang supir, tetapi Joviano yang melarang supir itu untuk mengantar atau menjemput Revin saat sekolah. Ia ingin Revin jalan kaki saja. Memang terkesan kejam, tapi ia memang sudah sangat membenci putranya itu.
"Makasih udah nganterin." ucap Revin.
Deina mengangguk seraya tersenyum. "Gausah bilang gitu, kayak sama siapa aja."
Mobil itu melaju pergi dari rumah Revin.
Tiba-tiba kepalanya berdenyut cukup keras membuatnya sontak memegangi kepalanya itu.
"Kesambet apaan lo? Buruan masuk, ditunggu ayah diruang tamu." ujar Jevin dan langsung meninggalkannya tanpa menghiraukan kembarannya yang menurutnya sedikit aneh.
Revin yang melihat itu tampak terdiam sejenak. Kedua tangannya masih setia memegangi kepalanya yang terasa sakit.
Ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Tunggu dulu, sepertinya itu tidak bisa dibilang rumah.
Baru saja ia sampai di ruang tamu itu, kertas-kertas sudah dilayangkan kearah dirinya. Apa isi kertas itu? Ya, itu adalah nilai hasil Ulangan Tengah Semester milik Revin yang kurang memuaskan.
"MAU JADI APA KALO NILAI JELEK GINI? Contoh tuh abangmu, nilai 100 aja bisa didapetin semudah itu. Bahkan hampir semua mapel." ucap Joviano sedikit penekanan pada kalimat pertama.
Revin hanya menundukkan kepalanya. Menatapi kertas itu tanpa mengatakan sepatah katapun.
PLAK
"KALO ORANG TUA NGOMONG TUH DIJAWAB." bentak Joviano usai menampar pipi Revin cukup keras.
Entah mengapa bibir Revin terasa ngilu untuk sekedar berbicara. Bahkan ucapan ayahnya barusan masih dicerna olehnya. Akhir-akhir ini ia selalu merasa aneh pada dirinya sendiri.
"Gak semua orang sempurna, yah. Pasti ada masanya berbuat kesalahan, mau itu sepele atau kesalahan yang cukup besar. Aku tetep aku, bukan orang lain. Jadi tolong jangan bandingin aku sama siapapun." ucap Revin lirih.
Joviano terdiam sejenak mendengar hal itu, kemudian memutar matanya malas. "Gausah sok pinter nyari kata-kata."
Jevin menarik kerah baju Revin dan menariknya ke luar rumah, lalu mendorongnya hingga ia terjatuh.
"Sapu nih halaman rumah, cuci piring, cuci baju, sama bantuin Calya ngerjain PR. Inget, lo tetep pembantu di rumah ini meskipun ada Bi Santi. Sama kayak kata ayah sebelumnya, jangan harap lo dapet jatah makan malam kalo belum nyelesain tugas tadi." ucap Jevin dan pergi meninggalkan kembarannya yang masih terjatuh ditempat.
Revin hanya menghela nafas pasrah. Makan malam? Berbicara tentang makanan sepertinya Revin belum makan sama sekali hari ini, bahkan roti yang tadi diberi Deina juga belum sempat ia makan.
Entah mengapa setelah kematian ibunya ia semakin jarang makan. Bukan jarang, sih. Hanya saja ia terlalu sibuk hingga tak sempat makan tanpa ia sadari. Bukan pola makannya saja yang berantakan, melainkan pola tidurnya juga. Mungkin ia hanya bisa beristirahat selama 2 atau 3 jam, atau tidak tidur sekalipun.
Jangan tanya bagaimana kondisinya sekarang. Separah apapun dirinya saat ini, ia tidak peduli dan tetap menjalankan hari-hari nya. Egois? Tentu, ia egois pada dirinya sendiri.
Setelah sekitar 5 jam Revin menyelesaikan semua itu. Dari pukul 6 sore sampai 11 malam. Waktu terasa singkat, ya.
Sekarang hanya satu hal yang belum Revin kerjakan, yaitu membantu Calya mengerjakan PR nya. Hanya saja Calya sudah tidur sedari tadi, jadi Revin akan mengerjakan PR itu sendiri.
Terdapat 10 soal matematika kelas 3 Sekolah Dasar yang sudah seharusnya bisa ia kerjakan.
(Sumber : Pinterest)
Belum ada 5 menit, soal matematika itu sudah selesai dikerjakan. Memang terlihat aneh, tapi siapa yang tidak bisa mengerjakan soal anak SD semudah itu?
Setelah mengerikan semua itu, Revin mulai berjalan menuju meja makan, berharap ada makanan sisa malam ini. Namun nihil, tidak ada satupun makanan yang tersisa. Apa sebaiknya ia memasak saja? Ah, daripada tidak makan.
Ia membuka kulkas, ternyata stok makanan hampir habis. Hanya menyisakan satu butir telur di sana. Tanpa pikir panjang ia langsung mengambil telur itu dan menggoreng nya di atas wajan.
Tak lama kemudian telur itu sudah matang dan siap disantap. Sebelum itu ia membuka rice cooker untuk mengambil nasi. Oh ayolah, habis juga? Sepertinya Calya banyak menambah nasi tadi. Mau tidak mau ia hanya memakan satu telur dadar itu.
Revin berdoa dan mulai memakan telur dadar itu. Apakah ia terlihat lahap saat memakannya? Ia hanya menampakkan wajah datarnya sedari tadi. Ia merasa kurang nafsu makan saat ini.
Sebuah tangan menarik pelan baju yang Revin kenakan.
"Bang Vin lagi makan apa? Calya boleh minta gak?" pinta Calya dengan puppy eyes nya.
Revin hanya mengangguk dan memberikan piring berisi telur itu pada Calya.
Calya memakan telur itu dengan lahap sampai habis tak tersisa, bahkan minyak-minyak di piring itu juga ia jilati sampai bersih.
"Bang Vin haus? Mau Calya ambilin air?" tanya Calya. Jika bertanya mengapa Calya memanggil Revin dengan sebutan 'Bang Vin', itu adalah panggilan khusus untuknya, dan hanya untuk Revin. Sedangkan untuk Jevin, mungkin ia hanya memanggilnya seperti orang lain memanggil Jevin, tetapi ada tambahan 'bang' nya.
Revin mengangguk lagi setelah mendengar tawaran dari Calya.
Calya membawakan segelas air untuk Revin dan memberikan padanya. Namun setelah Revin mengambil gelas itu, rasa sakit pada kepalanya kambuh lagi dan sontak tangannya yang memegang gelas tadi langsung memegangi kepalanya sehingga gelas itu jatuh ke lantai dan pecah.
"Bang Vin kenapa? Kepalanya sakit ya? Mau Calya panggilin ayah sama bang Jevin?" tanya Calya terlihat panik.
Revin hanya bisa menggeleng pelan dengan kedua tangannya yang masih setia di kepalanya. "Gausah, Calya tidur aja, udah malem."
"Beneran gapapa, kan?" tanya Calya lagi dengan wajah yang penuh keraguan.
Revin mengangguk seraya tersenyum kecil untuk meyakinkan adiknya itu.
Calya pasrah dan kembali ke kamarnya. Sesekali melirik kearah Revin yang membuatnya sangat khawatir. Ia hanyalah anak kecil berusia 9 tahun yang belum mengerti masalah seperti itu.
Keesokan harinya, oh atau masih dini hari ya? Pukul 03.15 Revin sudah siap dengan seragamnya serta barang-barang nya yang lain. Terdapat banyak sekali barang bawaan yang harus ia bawa hari ini karena ada acara perkemahan.
Sesampainya di sekolah, ia bisa melihat beberapa bis yang sudah siap menunggu para siswa yang akan pergi menuju sebuah hutan yang terkenal luas dan indah pemandangannya.
Nathan dan Rey menatap sinis Revin yang berdiri di samping Deina. Mereka terlihat tidak suka jika Revin dekat dengan perempuan itu.
"Tunggu aja permainannya."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Last 29 Day [OG]
Teen Fiction"Tandai angka itu, kamu akan segera tenang." Di saat hidupmu terasa terpuruk, bahkan hampir semua orang membencimu dan tidak mempedulikan apapun keadaanmu. Apa yang akan kamu lakukan? Pergi atau tetap bertahan? Ada pepatah mengatakan jangan pulang...