4. Tawaran Kesepakatan

130 19 1
                                    

Cukup lama Emily duduk memeluk diri di dekat pintu sepeninggal suaminya, dia menangis. Namun, tangisannya bukan sebab kepiluan melihat malam pengantinnya berantakan, tetapi karena ada yang mengejarnya, sesuatu yang bisa merenggut sesuatu hal yang berarti dalam kehidupannya tanpa aba. Kini sudah sangat larut, keheningan telah menyelimuti semesta. Penampilan perempuan itu juga sudah acak-acakan, rambut yang mulanya tergerai kinclong sudah kusut bagai singa, gaun merahnya telah hampir melorot, dia sungguh tak peduli. Terlebih beberapa menit yang lalu ada telepon yang meminta tagihan terhadapnya.

"Ke mana si tua Harold itu pergi? Memangnya dia bisa berkeliaran tengah malam dengan kondisinya yang jelas-jelas masih tak sehat itu?" decaknya berjalan mondar-mandir, menggigit ujung jarinya hingga kuteks merah mudanya telah mengelupas. Dia terus saja mengabsen jendela juga pintu, berharap batang hidung Harold yang saat ini jiwanya telah berisi Lio datang menampakkan diri. Hanya saja itu terus menjadi harapan semu semata, masih belum ada tanda-tanda kedatangan sang empu.

Sekali lagi Emily menghentakkan kaki, merasa kesal. "Dasar pria tua menyusahkan!" gerutunya entah yang ke berapa kali, "mana kakiku sudah sakit rasanya." Dia mengeluh, tangannya turun mengurut betisnya yang semulus kulit bayi itu.

Pada akhirnya, Emily memilih duduk sejenak di pinggiran ranjang yang masih bertabur mawar itu. Emily merenung, tatapannya kosong menumpu pada pintu berwarna cokelat agak keemasan, tiba-tiba saja pikirannya dihantui seutas kalimat yang sudah diucapkan suaminya dua kali, 'aku bukan Harold'. Kalimat tersebut menyergap pikiran perempuan itu dan seketika memenuhi seluruhnya. Tangannya terulur meraih bantal lalu diletakkan di pangkuannya, tangannya menumpu di atas .

"Dia bukan Harold." Dia berkata setengah berbisik dengan pandangan mengarah ke atas, tengah berpikir. Telunjuknya telah berada di bawah dagu. "Apa sebetulnya dia tidak berbohong? Sebentar, dia menyebut dirinya siapa tadi? Be ... Ben ...." Dia berusaha keras untuk mengingat nama yang sempat dilantunkan suaminya, "Benvolio?" lanjutnya.

Masih dengan posisi yang sama, tetapi kini telunjuk di dagunya telah berganti menjelajahi runcing hidungnya. "Transmigrasi? Wah, berarti maksudnya tubuh Harold, tetapih semacam ruhnya ... ya, ruhnya! Itu milik orang lain yang bernama Benvolio? Medis macam apa yang bisa menjelaskan situsi macam ini?" Kening Emily mengerut, berusaha menangkap sesuatu yang lebih masuk akal, tetapi nihil. Semuanya terasa penuh tanda tanya.

"Tapi kalau dipikir-pikir, entalah ... sikap pria itu memang berbeda setelah dia terbangun dari pingsannya. Coba kita ingat lagi." Emily berbicara seorang diri, demi usahanya 'tuk mencocokkan semuanya. Barangkali memang ada detail yang tertinggal, atau lebih spesifiknya, Emily hanya ingin mengusahakan cara agar bisa mendapatkan haknya dari persyaratan pra nikah yang telah mereka sepakati bersama. Itu begitu penting untuk Emily.

"Hari itu, sebelum pengucapan janji suci, Harold tiba-tiba serangan jantung dan langsung tak sadarkan diri. Aku bahkan sudah mengira dia meninggal, tapi tak hanya berselang beberapa menit dan dia kembali terbangun. Sejak terbangun ...." Mata Emily menyipit, mengulang adegan ketika Harold terbangun hari itu, "sikapnya berubah. Ya, harusnya aku tak berusaha menyangkal ini dan menganggapnya hanya perasaanku saja. Sikap Harold memang berubah, dia jadi kelihatan sedikit ... bodoh? Tidak lagi arogan dan kasar. Dia mirip remaja polos yang planga-plongo."

Menjeda sesaat, helaan napas berat terembus dari bibirnya. "Dan apa yang terjadi barusan lebih aneh lagi. Dia tidak menyentuhku? Yang benar saja! Rasanya itu menginjak-injak harga diriku. Padahal dulu dia selalu mencuri kesempatan dalam kesempitan, berusaha menyelipkan tangannya di tengah-tengah pahaku. Sial, aku merasa tak ada harga diri sekarang. Lihat, bajuku sudah sesesksi ini, tapi dia justru pergi meninggalkan aku sendiri di kamar? Oh, keterlaluan!" Pikiran yang awalnya hanya mencocokkan semuanya mulai melantur ke mana-mana, kekesalan perempuan itu kini sudah di ujung tanduk.

Transmigration of Old Husbands [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang