28. Puing Kenangan

44 6 0
                                    

Lio tiba-tiba membuka mata dalam ruangan yang begitu gelap, tetapi dalam matanya justru tersirat rasa yang sudah terbiasa akan hal itu. Dia hanya mendudukkan diri di tepian dan memeluk diri sendiri. Mendadak setelah itu, ada cahaya yang menyelinap masuk dan menerpa wajahnya, Lio mengerutkan dahi, mengangkat tangannya untuk menghalau sinar yang menyilau. Perlahan, cahaya itu semakin membesar, lalu membentuk sebuah persegi.

Dari cahaya tersebut lalu muncullah sebuah bayangan seseorang yang ditebak Lio adalah seorang perempuan, rambutnya menjuntai. Namun, yang mencuri seluruh perhatiannya adalah semerbak wangi yang menyeruak, harumnya begitu tak asing bagi Lio. "Kau-kah itu?" gumam Lio begitu pelan, masih setia menaungi wajahnya dari terpaan terang.

Suara-sesuai tebakan-perempuan itu lalu terdengar. "Ya, lihat apa yang kubawa untukmu."

Tepat di sebelah perempuan itu lalu muncul bayangan seseorang lainnya. Kali ini Lio langsung mengatakan bahwa dia adalah sosok laki-laki, kakinya jenjang. Dua bayangan itu semakin berjalan menembus cahaya dan mendekat ke arah Lio, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya wajah keduanya mulai tampak dengan jelas.

"Kau lagi ...." Lio kembali bergumam disertai keterkejutan. Perempuan yang datang adalah gadis yang sama dengan sosok yang berdansa dengannya sebelum memasuki peti mati.

"Karena kita terikat." Jawaban dari gadis itu. Ada hal yang lebih mencengangkan lain alih-alih kehadiran seseorang yang sama, yakni seseorang lain yang berada di sampingnya. "Ini adalah dirimu," lanjut si gadis berambut panjang bergelombang kekuningan itu.

Lio beringsut mundur, rasa tak percaya dan takut berbaur dalam dirinya. "Ke-kenapa ... kenapa wajahnya mirip denganku?" pekik Lio tertahan. Ditatapnya lamat-lamat sekali lagi wajah seorang laki-laki yang berada tepat di samping gadis itu. Bahkan tingkat warna kulitnya benar-benar sama. "Siapa kau?"

Gadis itu membalasnya, "Kau tidak mendengarku? Dia adalah dirimu, lebih tepatnya jiwamu."

"Jangan bercanda."

"Aku sudah membantunya mencari jalan ke sini."

"Tapi aku hanya ingin berdansa lagi denganmu."

Lio tak lagi menghalau wajahnya saat cahaya itu mulai melemah, tak lagi berkilauan melebihi permata. Pandangan Lio dengan gadis itu pun masih terus berlanjut dalam waktu yang cukup lama, hingga tiba-tiba ... seseorang yang wajahnya mirip dengannya itu menjadi tali pemutus. Si laki-laki kembaran Lio itu berkata, "Inilah alasannya kita tidak bisa keluar dari sini."

"Kita, apa maksudmu? Hanya aku yang terjebak, kau datang lewat cahaya dengan gadis cantik pujaan hatiku."

"Aku adalah dirimu. Kau harus memilikiku untuk bisa keluar dari sini, tapi kau tau apa yang menghalanginya? Gadis ini, kau mencintainya dan dia mencintaimu," terangnya, melawan argumen Lio.

Dicekam kegelapan yang semakin mendera-cahaya itu pun telah menghilang seutuhnya, Lio tiba-tiba merasa kedinginan. Dingin yang membuat menggigil hingga gigi-giginya bergemeletuk, tubuhnya gemetar. Gadis itu, Lio tak ingin matanya berpindah ke lain tempat, seolah seluruh hidupnya telah dia jatuhkan pada teduh mata yang menenangkan itu. Si gadis berlari dan memeluk Lio dengan erat, wangi lembut yang semakin kuat itu semakin memburu penciuman Lio.

Dalam rintihan tangis, gadis itu berujar. "Lio, aku menyukaimu sebagaimana aku menyukai wangi lavender. Aku ingin kau terus berada di sekitarku, tapi aku tak ingin kau mati. Jadi, biar aku yang mati, kau hiduplah dengan damai." Rampung mengatakan ini, tiba-tiba saja 'jiwa' Lio sudah berpindah tempat ke samping Lio.

Lio refleks berbalik sementara pelukannya semakin merenggang. Entah berasal dari mana, yang tadinya hanya berisi gelap dan hitam, kini tiba-tiba di belakang gadis itu ada jurang curam. Mata Lio membulat melihat hal itu, dia melihat tubuh sang gadis melompat dengan wajah yang masih menghadap ke Lio. "Tidak!" teriak Lio begitu kuat, tangannya berusaha menggapai, bahkan dia berniat untuk ikut melompat. Hanya saja, seseorang lain di belakangnya menarik tubuhnya hingga 'mereka' bersatu.

Setelahnya, ketika Lio menatap tempat yang mana tadi berisi sebuah jurang tempat gadis itu melompat, kini sudah tak ada lagi. Jurangnya menghilang, tergantikan kedatangan cahaya yang melahap Lio seutuhnya.

Mata Lio terbelalak, buru-buru bangun dari posisinya. "Mimpi lagi, lebih buruk." Lio memegangi jantungnya yang berdegup tak keruan, keringat bercucuran membasahi pelipis laki-laki itu. "Sebenarnya apa yang terjadi? Mimpi ini ... aku merasa bukan hanya sebatas mimpi, tapi kepingan memori yang sepertinya pernah terjadi. Gadis itu ...."

Lio terpejam, reka kejadian ketika wajah gadis itu tersenyum saat melompat dengan posisi tetap menghadapnya, terbayang tiba-tiba. Lalu, Lio kembali membuka matanya dengan pupil mata yang semakin membesar. Dia mencoba mengingatnya sekali lagi, yang terbayang sekarang berganti saat mereka berpelukan, tetapi itu membuatnya terlihat semakin jelas.

Lio menggeleng tegas. "Tidak mungkin. Wajah yang kuingat berada dalam mimpi itu adalah ... ibu tiri tuanku. Aku pasti salah ingat," serunya dengan arah pandang tak menetap. Namun, sekuat apa pun dia mencoba mengingat, bahkan membayangkan wajah gadis lain, tetap saja yang terbayang adalah wajah si 'istri kedua'.

"Jadi, dua kali bermimpi ...?" Lio masih berusaha percaya bahwa semuanya hanya sebatas mimpi, tetapi nihil. Tetap saja hati Lio terombang-ambing. "Berdansa dengannya? Dan ingat apa yang dikatakan orang yang mirip denganku itu, aku mencintai ... Emily? Ah! Dari mana mimpi-mimpi aneh ini datang, sih? Ini mimpi kedua kalinya, tapi rasanya saling berkaitan. Apa aku harus bertemu perempuan di rumah sakit itu?"

Ada satu yang masih dilewatkan oleh Lio, wangi lavender. Namun, sebab rasa hati yang sudah tak tenang, Lio hanya buru-buru berangkat ke rumah tuannya. Dalam perjalanan dia sudah memikirkan untuk cara untuk bertemu Emily. Sesampainya dia di sana, terlihat Agler sudah siap dengan kemeja plus rumpi abu. Wajahnya terlihat semringah.

"Lio ...."

"Iya, Tuan." Lio membungkuk sedikit.

"Kamu bisa mengantarku ke lapangan projek? Aku ingin mengecek beberapa hal."

Bagaimana ini? Mimpi itu dan Emily memenuhi seluruh kepalaku, aku ingin bertemu dengannya, segera.

Belum sempat Lio menjawabnya, dering telepon Agler berbunyi. Dari seberang sana terdengar suara laki-laki lain. "Keluar cepat! Aku sudah menunggu."

"Eh, tidak jadi, Lio. Armand sudah ada di luar."

Lio langsung mengembuskan napas lega. Ketika Agler sudah pergi, Lio berpikir alasan apa yang hendak dia gunakan untuk menemui Emily. "Apa aku datang dengan membawa bunga lavender lagi dan mengatakannya bahwa itu titipan dari Tuan Agler? Ya, seperti itu." Lio dengan cepat menjalankan susunan rencananya, dia membeli bunga lavender dengan sisa uang bonus yang diberikan oleh Agler di hari pertamanya bekerja. Setelah itu, dia melajukan mobil milik Agler menuju rumah sakit.

"Semoga semuanya bisa tercerahkan saat bertemu Emily." Lio berharap. Dalam hati laki-laki itu, diam-diam ada setitik harapan bahwa mereka memang saling mencintai, tak peduli bagaimana jalannya.

Transmigration of Old Husbands [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang