"Emil ...."
Emily buru-buru berdiri dari posisinya dan memusatkan pandangan pada Lio. Perlahan-lahan, bulu mata Lio bergerak dan terbuka sedikit demi sedikit. Setelah matanya terbuka sempurna, tatap mata mereka langsung bertemu. Emily tersenyum lebar hingga gusinya pun hampir terekspos. Dengan gerakan spontan, Emily mencondongkan tubuhnya dan memeluk Harold. Rasa bahagia yang meletup-letup memenuhi hati dan jiwanya. Dia berpikir mereka sudah gagal, tetapi melihat Lio membuka mata, Emily begitu senang.
Dekapan itu berlangsung beberapa saat. Merasakan tubuh Emily sedekat ini membuat Lio lebih senang daripada kabar bahwa dia ternyata belum mati. Aroma lavendel yang kuat langsung menyerbu Lio, ingin sekali laki-laki itu balas memeluk Emily dengan erat. Namun, tubuhnya masih kaku dan tak bisa digerakkan sama sekali, tersenyum pun masih diupayakan.
Terdengar rintihan suara haru Emily. "Kau benar-benar sadar, Lio! Aku sangat bahagia, sungguh ...!"
Apa kau menangis, Emily? Lio hanya bisa bertanya dalam hati. Bibir atas dan bawahnya seakan memiliki perekat. Dia lalu melihat wajah Emily ketika perempuan itu sudah membawa tubuhnya menjauh, melepas dekapan itu. Benar saja, mata Emily memerah, mata yang biasa melotot itu, hari ini menangis. Lio berusaha untuk berbicara, tetapi masih belum bisa.
"Jangan memaksakan untuk bicara dulu," cecar Emily seolah tahu bahwa Lio sedang berjerih payah untuk mengucap kata. Tangan perempuan itu lalu menyingkirkan sisa air di sudut-sudut matanya. "Jangan berpikiran berlebihahan, aku menangis bahagia karena akhirnya aku tidak mengurus mayat di peti mati itu, tahu! Semalam aku memimpikan hal itu, makanya hari ini sungguh senang kau bisa selamat, jadi aku berbahagia karena diriku sendiri. Jangan berbangga hati!" Emily berkata panjang, tetap saja menjunjung tinggi hati itu. Dia tidak ingin Lio menyadari sikapnya belakangan ini.
Lio hanya memutar bola mata malas dan memalingkan wajah sambil mengulum bibir, menahan senyum. Bibirnya perlahan mengucap satu kata. "Air." Hanya membentuk saja, tidak ada suara yang keluar.
"Kau mau minum?"
Lio mengangguk membenarkan. Emily lantas mengambil segelas air di nakas dan mengarahkannya pada mulut Lio. Setelahnya, barulah kemudian Lio merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya. Dia kembali memposisikan wajahnya menatap Emily.
"Kau tidak apa-apa?" Emily bertanya, memerhatikan wajah pucat Lio-seharusnya itu wajah Harold dan memang demikian, tetapi yang ada dalam pikiran Emily hanya Lio, tidak ada lagi Harold.
"Aku merindukanmu." Lio menjawabnya tiba-tiba. Dari lubuk hatinya, itulah jawaban paling pas untuk pertanyaan yang disuguhkan oleh Emily.
"Jangan bercanda, bodoh!"
Lio terkekeh. Dia lalu membalik topik. "Bagaimana mereka?"
"Anak-anak itu?" Melihat Lio mengangguk, Emily melanjutkan kalimatnya, "kita berhasil, Lio! Rencana kita betul-betul berjalan lancar, mereka sekarang sudah mengajukan gugatan dan bukti-bukti itu pada kejaksaan. Kutebak sekarang bahkan Ebner sudah kalang-kabut untuk mengajukan perlawanan. Kau pasti senang sekarang, iya bukan? Karena sebentar lagi kau tidak lagi perlu was-was tiba-tiba mati, kau akan menjalani hidupmu yang baru-"
"Tanpa kau?" Lio menyela.
Bibir Emily terkatup seketika, tak lagi melanjutkan kalimatnya. Mereka terdiam untuk sesaat, mata Emily mengerjap beberapa kali dan kembali berujar. "Apa hubungannya? Bukankah sebelum ini kau juga tak mengenalku?"
Laki-laki itu tampak memaksakan tersenyum. "Ya, itu benar. Aku berharap mereka menang dan Ebner ditahan."
"Itu urusan belakang, Lio. Setelah keadaanmu sedikit lebih baik, kita harus segera menemui penyihir itu dan memintanya untuk mengembalikan jiwamu. Kita tidak punya lebih banyak waktu lagi untuk menunggu," balas Emily. Lagi-lagi Lio hanya mengangguk sebagai jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigration of Old Husbands [TERBIT]
FantasíaJuara🥇 dalam Event Adu Jotos Batch 5 bersama HWC Publisher [Belum Revisi] Setelah meregang nyawa, jiwa Lio kembali terbangun di sosok pria tua bernama Harold dengan segala kekayaannya yang akan melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis belia. L...