PROLOG

78 2 0
                                    

Holla guys!

I'am come back🤩❤️‍🔥

Ada yang ke sini setelah baca ANASTASYA?

Atau ada yang belum baca tapi udah nemu cerita ini?

Have fun and here we go!

•••••••••••••••••••••••••

"Anas kamu nggak akan jadi kayak orangtua kamu, kan?"

"Kenapa nanya gitu?" Anas mengangkat wajahnya dari perut buncit istrinya. Laki-laki itu dapat melihat wajah cemas Tasya.

Perempuan itu menggigit bibir bawahnya cemas. Takut hendak mengucapkan keresahan hatinya belakangan ini.

Tasya tersenyum tipis, menggeleng lirih.

Anas menghela napas, tau jika perasaan ibu hamil akan lebih sensitif. Namun, Anas takut jika beban pikiran Tasya bisa mempengaruhi kondisi calon bayinya.

"Ayo bilang, ada apa?" tanya Anas, mengelus perut Tasya sesekali mengecupnya.

"Aku takut kamu nggak nerima anak ini."

Anas memasang wajah datarnya, menatap Tasya tak suka. "Maksud lo apa?!" Laki-laki itu bangkit dari posisi rebahannya. Duduk bersebelahan dengan Tasya.

Perempuan itu menahan isakannya, mencoba untuk menjelaskan. "Kamu selalu bilang kalo anak ini pasti cewek. Kamu udah bisa nyimpulin sendiri tapi nggak mau tes USG. Kamu pengen anak cewek, aku tau itu, Anas. Tapi aku takut, gimana kalo anak kita cowok?"

Anas terdiam mendengar keluh kesah istrinya. Laki-laki itu mengepalkan tangannya erat, mencoba mengelak ucapan Tasya lewat batinnya.

"Kamu pikir aku nggak stres waktu kamu bilang, pasti anak ini cewek. Firasat orangtua pasti nggak pernah meleset. Kamu pikir aku nggak kebebani sama ucapan kamu, ha?!" Tasya mengusap kasar air matanya, menatap dalam manik Anas. Mencoba mencari bukti jika ucapannya tidak benar.

Sedetik setelahnya perempuan itu terkekeh miris, saat menemukan wajah pasrah Anas.

"Aku takut kamu kayak orangtua kamu. Aku nggak akan pernah terima anak aku ngerasain itu!" Tasya berucap tegas. Mau bagaimanapun Brenda dan Fajar tetap orangtua Anas. Darah pasangan suami istri itu mengalir kental dalam diri Anas. Tasya takut sikapnya juga akan menurun pada Anas.

Anas membawa tubuh Tasya dalam dekapannya. "Jangan bilang gitu."

"Aku takut Anas." Tasya mengusapkan wajahnya di dada Anas, mendongak, menatap wajah Anas dengan sorot yakin. "Kamu udah ngerasain sakitnya nggak dianggap sama orangtua kamu sendiri, pasti kamu nggak akan ngebiarin anak kamu ngerasain itu, kan?"

Anas tersenyum tipis, menggeleng lirih. "Nggak akan pernah."

Tasya tersenyum lega, kembali menyandarkan kepalanya di dada Anas. perempuan itu tertawa pelan saat pundaknya terasa lebih ringan. "Itu artinya kamu akan tetap nerima kalo anak ini cowok?"

"Gue yakin itu cewek!"

•••

Anas tersenyum haru saat melihat bagaimana pertaruhan nyawa Tasya demi buah hati mereka. Laki-laki itu menyatukan keningnya dengan Tasya. Berbisik lirih menyalurkan semangat.

Anas semakin tersenyum lebar saat mendengar suara bayi yang menggema di ruangan ini. Laki-laki itu meneteskan air matanya, hingga membuat Tasya kembali membuka mata.

"Jangan nangis," lirih Tasya.

"Makasih. Makasih. Makasih." Anas mengucapkan itu berulang kali. Mengecup bertubi-tubi kening Tasya yang masih mengeluarkan keringat.

Tasya hanya menutup matanya, mencoba memulihkan tenaganya yang sudah hilang, tak menjawab ucapan Anas.

"Selamat, Pak, Bu. Anaknya lahir sehat, tanpa kekurangan satupun. Saya yakin anak ini akan tumbuh hebat seperti Ayahnya."

Anas menatap dokter yang menggendong anaknya, "Jenis kelaminnya apa dok?" tanya Anas tak sabaran.

"Laki-laki Bapak. Sekali lagi selamat, Ibu. Akan ada dua superhero dalam kehidupan baru Ibu."

Anas sudah tidak mendengarkan apapun lagi. Telinganya seolah mati fungsi. Menatap kosong ke depan.

Masa dirinya kembali jatuh ke dalam lubang harapannya sendiri, berharap terang menariknya. Namun, justru kegelapan lebih senang mengelilingi garis takdir Anas.

Ini semua salah siapa?

Kenapa Anas tidak bisa diberi bahagia? Bolehkan dia minta kabulkan saja satu permohonannya?

Dari awal, ini memang salah Anas. Anas terlalu berharap lebih mengenai keturunannya. Apa yang salah antara perempuan dan laki-laki?

Tidak ada! Namun Anas selalu memandang perbedaan yang jauh dari keduannya.

Manik Tasya yang tertutup mengeluarkan air mata, entah perempuan itu sadar atau tidak jika sedang menangis. Entah Tasya memang benar tertidur atau hanya sekedar menutup mata.

"IMD bagi bayi yang baru lahir itu penting ya, Bu, Pak. Paling tidak satu jam setelah bayi dilahirkan."

Mendengar arahan dokter, seorang suster mencoba membangunkan Tasya.

"Setelah sembilan bulan bayi di dalam kandungan Ibunya dan mendengar detak jantung Bunda yang selalu menemani, pastinya saat dilahirkan akan merasa asing karena tidak mendengar detak jantung Ibunya. Jadi itulah pentingnya IMD sesaat setelah bayi lahir, agar bayi tidak menangis dan merasa tenang." Dokter itu tersenyum hangat.

"Pak, boleh tolong dibuka baju istrinya agar terjadi kontak fisik pertama antara bayi dan ibunya." Dokter itu kembali memerintah dengan senyuman saat melihat Anas hanya diam termenung.

•••••••••••••••••••••••••••••••••

Up prolog dulu, demi apapun tangan aku gatel parah😭😭

Padahal cerita pertama juga nggak banyak yang baca😭

Aku PD cerita ini bisa narik banyak pembaca, aamiin-in dong😀👍

Kalo enggak yaudah, gapapa.

See you next chapter❤️‍🔥❤️‍🔥

ANASTASYA : NEXT GENERATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang