NEXT GENERATION : 5

51 2 0
                                    

Tasya sibuk dengan kegiatannya, menata masakan dalam wajan ke piring. Perempuan itu sedang dalam mood yang baik, jadi selama memasak makanan untuk sarapan, senyum Tasya tak pernah luntur.

"Tinggal panggil Anas," gumam Tasya.

Langkah kaki itu terhenti saat melihat wastafelnya penuh dengan cucian kotor. Jadi Tasya lebih memilih mencuci terlebih dahulu sebelum membangunkan Anas.

Rumah Tasya dan Anas tidak berubah, tetap sama seperti dulu, rumah hadiah pernikahan dari Kakek. Bicara tentang Kakek, pria paruh baya itu tetap memutuskan untuk bekerja, sebelum istirahat saat kondisinya sudah benar-benar tua.

Kakek selalu mengeluh mengingat Nenek Clarie jika sedang sendirian di rumah. Maka daripada menyakiti mentalnya sendiri, lebih baik menyakiti fisiknya dengan bekerja keras.

Anas juga disuruh membantu kakeknya, namun sulit bagi laki-laki itu untuk mengurusi semua warisan neneknya di usia yang sekarang.

Tasya berjalan menuju kamar Anas, namun terhenti di depan kalender.

"Ini penyakit aku kumat lagi kah? Padahal nggak lagi stres." Tasya mengedikkan bahunya tak acuh. Sudah tiga minggu dirinya telat datang bulan.

Dulu saat di Singapura juga datang bulannya tidak teratur, sempat konsultasi dan dokter hanya menyarankan untuk tidak terlalu banyak pikiran. Ternyata pikiran yang stres juga mempengaruhi hormon tubuh.

"Anas?" Kening Tasya berkerut saat melihat kamar Anas kosong.

Suara percikan air terdengar, membuat Tasya langsung mengerti jika Anas sedang mandi.

Perempuan itu menuju lemari untuk menyiapkan baju Anas, beralih pada keranjang baju, melipat baju yang baru kemarin dirinya angkat.

"Gue mau ke rumah Ibu, mau ikut?" Anas keluar hanya dengan handuk yang menutupi pinggang bawahnya.

Tasya menggeleng, masih sibuk dengan baju-bajunya. "Aku di rumah aja, kerjaan rumah masih banyak."

Anas keluar kamar dengan penampilan yang sudah segar, menggunakan kemeja yang tak terlalu rapi dengan celana jeans dark blue. Rambut Anas dibiarkan acak-acakan, tak menemukan letak sisir.

"Sya?"

"Di dapur."

Anas menghampiri istrinya yang berada di dapur, "Gue pergi ya."

"Hati-hati." Tasya yang sedang membersihkan kompor, menghentikan sejenak. Meraih tangan Anas untuk dia cium.

"Jangan capek-capek. Gue kayaknya pulang siangan."

"Eh terus ini sarapannya gimana?"

"Nanti buat makan siang aja, gue pergi." Anas mengecup sekilas bibir Tasya, berjalan menjauh untuk keluar rumah.

"Sia-sia aku masak, beneran udah nggak mood beres-beres rumah." Tasya mendengus kesal, melempar lapnya.

•••

"Beneran belum boleh pulang?" tanya Auriella pada Gabritta yang berada di seberang ponsel.

Terlihat Gabritta tertawa pelan, menatap wajah memelas Auriella. "Gue suka di sini, kayaknya nggak akan pulang."

Vino langsung merampas ponsel Ella, menatap Gabritta garang. "Buruan balik, Bri. Lo nggak mau ketemu sama anaknya Mira?"

Gabritta hanya menghela napas, "Masalahnya gue belum boleh balik," jawab Gabritta.

Keadaannya masih belum bisa dikatakan baik. Ayahnya juga masih melarang untuk kembali ke Indonesia, karena negara ini yang banyak menyimpan kenangan kelam Gabritta.

ANASTASYA : NEXT GENERATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang