"Akhirnya gue ketemu lagi sama lo, aduh kecil," seru Dian, menahan gemas. Pemuda itu menepuk pelan tangan anak Anas dan Tasya.
Awan mendorong Dian menjauh, ingin melihat juga bagaimana wajah merah bayi itu.
"Mukanya candu, an***! Gue mau nginep dong, Nas. Biar bisa liat tiap hari." Dian cengengesan menatap Anas, laki-laki itu sedang mengupas jeruk untuk istrinya.
"Namanya siapa?" tanya Galaksi.
"Ohiya, kemarin lo belum ngasih tau," sahut Jendra, menatap Anas penasaran.
"King Alvarash De Magellan. Panggilannya Aras."
Mereka serentak menganga, menatap takjub pada bayi yang memiliki nama indah.
"Nama panggilannya kok mirip lo, Nas?" tanya Nolan polos.
Anas memutar matanya malas, keinginan Tasya. Perempuan itu ingin nama anaknya mirip dengan nama Anas. Nama King sendiri, Anas ambil dari nama Raja. Nama yang pernah dipuji oleh Morgan, dulu.
Anas ingin menamai anaknya dengan nama yang pernah dipuji oleh orang yang berharga baginya.
"Berasa liat kembaran gue," ucap Jendra, tersenyum pogah.
Anas berdecih sinis, memutar mata malas. "Yakali anak gue disamain kayak lo. Beda!"
Jendra menatap Anas datar, ingin menendang laki-laki itu, namun saat melihat langsung Anas yang melawan tatapan datarnya, Jendra langsung ciut. "Kan namanya mirip, raja itu king, kok," gumamnya pelan, hingga hanya dirinya yang mendengar.
"Ini kira-kira mirip siapa?" celetuk Dian bertanya.
"Tasya." Hendra dan Galaksi menjawab bersamaan. Menatap lamat pada bayi merah itu.
Dian mengernyit heran, tak paham. Dia rasa bayi ini tidak mirip sama sekali dengan Tasya maupun Anas.
"Alis, hidung, bibir, bentuk matanya sipit, mirip Tasya," jelas Hendra menerangkan. "Warna matanya nggak tau, gue belum liat dia bangun," tambahnya.
"Kecil, ayo bangun, dong, pamanmu ini mau nyapa loh."
Benar saja, setelah Dian selesai berucap, Aras menggeliat tak nyaman. Menggerakkan tangannya, menggapai-gapai apapun yang bisa digenggam tangan mungil itu.
Suara tangisan bayi menggema dalam ruangan rawat Tasya.
"Wah, liat, warna matanya mirip Anas." Awan berseru heboh, menepuk lengan Abigail, menyalurkan antusias.
"Aduh manisnya."
"Kecil banget, sih."
"Aw ponakan gue!"
Tasya mengkode Anas untuk menggendong Aras. Meminta suaminya untuk membawa anak mereka kepadanya.
Anas menatap melas pada Tasya. "Gue takut gendongnya, Sya. Nanti kalo kekencengan gimana?"
Hendra terkekeh pelan, "Apaan, Nas. Ini anak lo, masak lo gamau gendong?"
Anas terdiam sejenak, dirinya takut. Takut menyakiti bayi merah itu.
"Hendra tolong bawa Aras, ya."
Hendra mengangguk, menggendong bayi merah itu pelan, menopang kepala dan punggung bayi itu, sesuai arahan dokter bayarannya dulu. Hendra pernah menyewa bidan untuk les merawat bayi, agar dirinya paham dan tak salah merawat anaknya. Dan sekarang Hendra cukup ahli dalam hal ini.
Tasya menimang anaknya, tidak memberi ASI, dikarenakan masih belum waktunya, ditakutkan akan kekenyangan dan berakhir buruk.
Firasat Tasya, anaknya menangis karena tak puas tidur, atau mungkin terganggu dengan suara bising di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
Teen Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...