Anas menatap Awan yang cengar-cengir dengan aneh. Laki-laki itu sedari tadi mereka berjalan menuju parkiran, tak pernah lepas dari senyuman.
"Mulai gila lo?" tanya Anas.
Awan tersenyum pongah, "Istri gue lahiran."
Anas menatap Awan dalam diam, beberapa detik sebelum tersadar akan kegoblokan temannya itu. Belum juga Anas mengingatkan suara kakak ipar Awan sudah terdengar nyaring.
"AWAN GO****! ISTRI LO LAHIRAN MALAH SANTAI DI SINI?! CERAI AJA LO NJ***!" teriak Amirati.
Anas mengelus dadanya kaget, temannya satu itu sudah berubah seratus persen. Mungkin semenjak menjadi seorang istri dan ibu beban Amirati semakin banyak, hingga tidak dapat sabar seperti dulu lagi. Sifat kalemnya menghilang begitu saja.
"Gue harus ke rumah sakit, kah?" tanya Awan polos.
Tanpa kata lagi, Amirati menarik telinga Awan untuk mengikutinya.
Hendra menggeleng lirih, "Mau jenguk kapan?"
"Kalian duluan, gue nunggu Tasya," ucap Anas diangguki oleh mereka semua.
Anas menatap jam tangannya dan jalan bergantian, menunggu Tasya yang tak kunjung keluar. Padahal gadis itu harusnya sudah selesai tugas.
"Anas maaf." Tasya mengatur napasnya yang memburu. Menatap Anas dengan keringat yang memenuhi jidatnya.
"Lo kemana aja?" Tangan Anas bergerak, mengusap keringat Tasya dengan telapak tangannya.
"Gapapa, sekarang kita mau kemana?" tanya Tasya.
Anas sedikit heran dengan istrinya, pemuda itu tahu betul seperti apa raut wajah berbohong dan jujur. Namun sekarang lebih baik untuk tidak berdebat.
"Ke rumah sakit, istri Awan lahiran."
Tasya berbinar mendengarnya, "Wah pasti ada bayi."
Anas hanya menatap datar Tasya dengan dagu yang bergerak, mengisyaratkan untuk masuk ke dalam mobil.
•••
"Aduh lucunya," gemas Tasya. Hendak mengelus pipi bayi merah itu, namun terhenti. Takut dirinya membawa kuman.
"Namanya siapa?" tanya Anas.
"Panggil aja, Bumi," jawab Awan. Anas mengangguk mengerti menatap bayi itu dengan datar.
Bayi laki-laki sebenarnya tidak berbeda dengan bayi perempuan, namun bagi Anas rasanya berbeda. Bahkan cara pandang Anas saja sudah terlihat.
Hendra menyenggol lengan Anas, "Cirel mau ke sini sama Saquel. Nanti lo bisa ketemu."
Anas tersenyum tipis, mengangguk, memilih duduk di sofa.
"Go**** bener temen lo, Nas. Masa tadi nama anaknya suruh disamain kayak namanya." Amirati ikut duduk di sebelah Anas.
Awan cengengesan, "Kan mirip, biar keren."
"Keren apaan, mentang-mentang nama lo Dermawan terus nama anak lo mau Budiman, gitu?!"
"Bagus kok, kan ada doanya itu, biar gede jadi orang yang budiman," cengir Awan.
Anas mengangkat alisnya sebelah, terkekeh pelan.
"Bodo!" Amirati membuang muka, capek dengan tingkah adik iparnya.
"Jadi nama panjangnya apa?" tanya Jendra ikut nimbrung.
"Niargala Bumiarta Sandiga."
"Bagus," puji Galaksi singkat.
"Parah nggak ada nama adik gue!" dengus Amirati kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...