Anas menghela napasnya kasar. Menatap mahasiswa dan mahasiswi yang berjalan santai menuju satu gedung ke gedung lainnya, menenteng tas laptop dan totebag.
Pemuda itu memutar bola matanya malas saat bersitatap dengan manik genit perempuan yang mengganggunya selama beberapa tahun ini.
Pohon rindang yang mengelilingi Universitas ini bergoyang seirama, menggerakkan udara. Meskipun bersertifikat sebagai Universitas Swasta, tak menampik jika mahasiswa dan mahasiswi di sini tergolong pintar. Banyak prestasi yang dapat mereka banggakan.
Saat ini, Anas harus kembali bertarung dengan tugas dan skripsi. Padahal pemuda itu berharap jika lulus SMA, akan dapat berleha-leha sembari menikmati nastar buatan Tasya.
Bicara tentang Tasya, gadis itu tak juga kembali ke tanah air. Memang betah jika dalam hal menyiksa Anas. Bisa-bisa pemuda itu kembali mati rasa karena ditinggal jauh oleh istrinya.
Meskipun terasa berat, namun Anas mampu berdiri hingga saat ini, tanpa adanya Tasya. Biarkan mereka berdua sama-sama berjuang, sebelum kembali dengan perasaan dan wawasan yang lebih luas.
Kuliah ternyata juga membawa pengaruh besar bagi kita, tentang bagaimana kita memandang kehidupan di dunia yang sebenarnya.
"ANAS YUHU!" Seorang gadis bergelayut manja di lengan Anas, memanyunkan bibirnya agar terlihat lucu. "Anas aku kemarin makan mie ayam, tapi perut aku langsung sakit. Emang dasarnya aja aku nggak bisa makan makanan murah jadi sakit, deh, perut aku. Gimana kalo kita ma–"
"JIJIK AN****!" Anas menyentak tangan gadis itu dari lengannya. Mengusap lehernya yang sudah merinding sedari tadi. Dibilang Anas takut dengan cewek agresif seperti ini, dan sekarang pemuda itu butuh tameng.
Meliarkan pandangannya, berharap mendapati seseorang yang dia kenal.
"BIGEL!" teriak Anas berlari menghampiri Abigail.
Gadis itu semakin mengerucutkan bibirnya. "Anas ih! Oh aku tau mau main kejar-kejaran, kan? SINI KAMU ANAS!" Gadis itu turut berlari, seakan sedang bermain.
Abigail mendengus malas, pemuda itu memutar mata melihat gadis genit yang selalu menempel pada Anas.
"Acika!"
"Apa lo?! Urusan gue sama Anas bukan sama lo!" Gadis itu menatap Abigail sinis, berubah lembut saat menatap Anas yang masih bergidik ngeri.
"Pergi jauh-jauh! Gue phobia sama cewek ganjen kayak lo!" seru Anas, menggerakkan tangannya mengusir.
Cika menggapai tangan Anas yang melambai, menggenggamnya. Namun pemuda itu spontan melepaskannya, mengusap pada baju dengan raut wajah jijik.
"Kamu kalo nggak dikejar secara brutal nggak akan dapet, Anas."
Anas memutar mata malas, bersedekap dada.
"Wah wah, Anas nggak nyangka gue, lo bisa–" Awan tidak melanjutkan ucapannya saat menerima tatapan tajam dari Hendra. Dirinya hampir keceplosan.
Status Anas masih rahasia bagi mereka, di jenjang kuliah."Cika Cika," panggil Awan pelan. Menyatukan kedua telunjuknya dan menatap Cika polos. "Jauhin Anas ya, sama gue aja gapapa. Tapi jangan Anas," perintah Awan. Tetap menjadi cowok playboy, meskipun sudah memiliki istri.
Cika tersenyum miring, aura alpha female menguap dari diri gadis itu. Apalagi penampilan Cika memang cocok disebut sebagai gadis tomboy. Tidak cocok dengan sikapnya kepada Anas.
"Serah gue. Selagi gue belum nyerah, Anas akan selalu gue kejar, sekalipun nyawa gue taruhannya."
"Gila!" Anas menggeleng prihatin. Menatap aneh pada manik coklat Cika yang memancarkan obsesi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
Dla nastolatków"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...