Tasya menikmati elusan tangan Anas pada perutnya, sedikit menenangkan saat melihat laki-laki itu berbicara panjang lebar pada calon anak mereka.
Tasya menyisir rambut Anas disela jarinya sesekali. Menyandarkan kepala pada sofa.
"Kalo anak kita udah besar, mau gue ajak jalan-jalan. Jangan sampe anak gue jadi orang introvert kayak lo," canda Anas. Tertawa pelan melihat tatapan datar Tasya.
"Bilang sekali lagi!" ancam Tasya.
Anas menunjukkan cengirannya, mencium perut istrinya, membujuk.
"Aku juga nggak akan biarin anak aku jadi datar kayak kamu." Tasya menghina balik, tersenyum miring menatap suaminya.
"Iya-iya. Tapi jangan kayak Awan juga, dia masih sering godain cewek loh, ay. Bahkan Cika aja sampe disuruh jangan deketin gue, suruh deketin Awan. Padahal dia udah punya istri, anaknya kira-kira bakalan nurun siapa ya?"
Tasya tertawa pelan, mengelus dahi Anas, menyingkap poni panjang laki-laki itu. "Nggak tau, bisa jadi anak mereka mirip kamu. Nggak ada yang tau."
Anas mengangguk berkali-kali. "Kalo dipikir-pikir, anak Hendra sama Amirati juga nggak akan nurun sikap orangtuanya."
"Kenapa?"
"Anak Hendra sekarang centil, Sayang. Dia udah berani cium pipi aku waktu aku gendong."
Tasya tertawa pelan, mengira pasti Anas tidak sadar sudah mengubah gaya bicaranya.
"Kamu nggak lari terus ngelempar anaknya Hendra, kan?"
Anas menggeleng brutal. "Nggak. Aku cuman shock, terus aku kasih Cirel ke ibunya, jadi takut gendongnya aku."
"Cirel juga udah mau dua tahun, kan? Ngapain digendong."
"Dia yang minta, aku udah bilang, kalo Cirel jadi centil, padahal ibunya dulu kayaknya nggak brutal banget ngejar aku."
Tasya menghela napas lelah, menatap manik Anas yang berbinar saat bercerita. Tasya jadi percaya pada kalimat, jika kamu nyaman dengan seseorang, kamu akan menceritakan semuanya. Mau itu penting atau tidak, kalian pasti akan berbagi cerita.
Dan sekarang Anas bisa berbicara panjang lebar, menceritakan semuanya kepada Tasya. Tasya sudah menjadi rumah Anas dari lama, namun laki-laki itu baru saja menyadari saat dirinya salah pulang dulu. Harusnya saat itu Anas pulang ke mansion Arendra, karena masih marahan dengan Tasya. Namun tanpa sadar hatinya membawa Anas ke rumah Tasya.
"Dia nyiptain karakter sendiri, bisa karena lingkungan atau teman bermainnya. Bukan menerus keturunan orangtuanya, Anas. Bisa jadi yang orangtuanya ekstrovert tapi anaknya malah introvert, itu banyak terjadi. Pengaruhnya ya karena lingkungan," jelas Tasya.
Anas mengangguk pelan, "Semoga kamu nggak centil, ya," ucap Anas pada calon anak mereka.
"Anas." Tasya berucap serius. Menatap manik Anas dalam.
"Apa, ay?"
"Kamu berharap banget anak kita cewek ya?"
Anas terdiam, gerakan tangannya yang semula mengelus perut Tasya juga terhenti. "Pasti cewek. Firasat orangtua nggak akan meleset," ucap Anas. Menutup matanya. Memberi kode kepada Tasya untuk tidak memperpanjang topik.
Namun Tasya tetap pada pendiriannya, ingin memberi Anas pengertian.
"Anas liat aku!" titahnya tegas. Duduk tegak, berhenti mengelus rambut Anas. "Kamu nggak akan jadi seperti orangtua kamu, kan?"
"Kenapa nanya gitu?" Anas mengangkat wajahnya dari perut buncit istrinya. Laki-laki itu dapat melihat wajah cemas dari Tasya.
Perempuan itu menggigit bibir bawahnya cemas. Takut hendak mengucapkan kalimat yang sudah dirinya susun. Takut ingin memberi pengertian pada suaminya, takut jika akan menyakiti hati Anas.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...