Tubuh Anas kembali menegang, bedanya kali ini karena rasa yang selama ini dipendam kembali meluap, bukan karena merinding. Panggilan yang menghantuinya, yang selama ini selalu dia rindukan.
Namun kini Anas mendengarnya secara nyata, kalau dia menoleh apakah Anas akan tertampar oleh kenyataan?
Bahkan untuk menoleh saja Anas sudah tidak sanggup. Dirinya takut jika apa yang dipikirkan benar, jika ini memang halusinasi, persis seperti perasaannya selama ini. Menganggap jika Tasya masih mengelus kepalanya dan memanggilnya.
"Nas, dipanggil tuh," ucap Auriella menyadarkan.
Anas menoleh kepada Auriella, bertanya dengan nada pelan, bibir pemuda itu bahkan seperti tidak bisa bergerak. "Siapa?"
Auriella tidak menjawab, gadis itu hanya menunjuk dagunya ke arah belakang.
"Anas?"
Anas mengatur napasnya, mencoba menoleh. Panggilan ini terasa sangat nyata.
Tatapan pemuda itu terpaku pada seorang gadis cantik yang merentangkan tangannya.
Anas enggan berkedip, masih tak percaya jika orang yang selalu dia nantikan selama ini, kini berdiri di depannya. Dengan penampilan yang berubah seratus persen. Bahkan aura gadis itu ikut berubah.
"Anas? Aku kangen sama kamu."
"Sya?" panggil Anas lirih, berlari menjawab rentangan tangan Tasya.
Pemuda itu menyembunyikan kepalanya di bahu Tasya, menutupi matanya yang mengeluarkan air mata. Tubuh Tasya rasanya agak tinggi dibanding terakhir kali Anas peluk.
Anas menikmati pelukan hangat dari Tasya yang mengelus punggungnya lembut.
"Gue–"
Tasya tersenyum pelan, "Iya. Maafin aku, ya? Sekarang aku udah disini, buat kamu. Jadi jangan nangis."
Anas semakin mengeratkan pelukannya, tak mengindahkan jika keadaan sekelilingnya tak sesepi tadi. Banyak sahutan dari orang-orang.
"Siapa?" tanya Cika datar.
Amirati tersenyum miring, "Pacar Anas."
Cika mengangguk pelan, tersenyum tipis. Gadis itu berjalan mendekat hingga berhadapan dengan Tasya yang masih memeluk Anas.
"Gue Cika."
Tasya mencoba melepas pelukan Anas, namun tidak bisa. Pemuda itu tidak mau melepas pelukannya.
"Tasya."
Cika mengangguk pelan, menatap punggung Anas dengan tatapan yang sulit. Gadis itu kembali memandang Tasya dengan rumit.
"Gue suka sama pacar lo." Ucapan gamblang Cika membuat Tasya berkedip beberapa kali. "Dan gue tau lo pacar Anas. Anas emang hak lo, tapi biarin gue suka sama Anas. Ijinin gue kejar pacar lo, ya, mbak? Gue janji kalo gue udah capek, gue akan mundur sendiri."
"Ha?" Hanya itu yang dapat diucapkan Tasya, gadis itu masih memproses ucapan Cika.
"Jadi selama Anas masih jadi milik lo, jangan sakitin dia. Lo akan berurusan sama gue!" Cika berlalu pergi setelah selesai mengucapkan niatnya.
Gadis itu sunggung tidak pernah goyah dengan kenyataan. Sepert jika dia ingin menjadi seorang ibu, meskipun sudah dinyatakan tidak bisa hamil, Cika akan tetap pada niat awalnya, menjadi seorang ibu.
Hampir mirip dengan Gabritta.
Anas kembali mengeratkan pelukannya, merasa jika Tasya akan sakit hati mendengar ucapan Cika.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
Teen Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...