NEXT GENERATION : 6

14 0 0
                                    

Tasya menatap wajah pucat Anas dengan mata membulat. Perempuan itu masih membawa kemoceng, masih sibuk dengan beres-beres rumah. Tak mempedulikan moodnya yang sempat down.

Namun kehadiran Anas yang baru sebentar meninggalkan rumah mampu membuatnya terkejut, apalagi keadaan Anas seperti tidak baik-baik saja.

Tasya melemparkan kemocengnya asal, menghampiri Anas yang berjalan sempoyongan.

"Kamu kenapa?" Tasya memegang tangan Anas yang memegang kepalanya.

"Pusing banget," jawab Anas, menatap Tasya sayu. Laki-laki itu menggeleng pelan, menghalau kehadiran Tasya nampak seperti ada dua di matanya. "Mau tidur."

Tasya mengangguk, melingkarkan tangan Anas di lehernya, membantu pemuda itu jalan pelan-pelan menuju kamar di lantai bawah. Tidak memungkinkan membawa tubuh Anas untuk menaiki tangga.

"Kamu belum makan, mau aku buatin bubur?"

Anas menggeleng lirih, berguling memegang kepalanya, "Pusing banget, Sya."

"Jangan dipukul." Tangan Tasya menghalau kepalan tangan Anas yang digunakan untuk memukul kepalanya.

Anas berusaha menenangkan dirinya, memejamkan matanya sesaat, mencoba menikmati rasa sakit ini. Tetapi kembali mengerang saat perutnya bergejolak.

Tasya terbengong menatap Anas yang bisa berlari menuju kamar mandi, meskipun harus menabrak pintu terlebih dahulu.

"Bisa lari? Katanya pusing?" Perempuan itu memiringkan kepalanya ke kiri.

"Anas?" Tasya menggedor pintu kamar mandi berulang kali. "Jangan dikunci, Anas!" seru Tasya, takut terjadi sesuatu kepada Anas.

Suara kunci terdengar dari dalam. Tasya menerobos masuk, melihat Anas yang berdiri di depan wastafel sembari menunduk.

"Muntah? Kamu belum makan apapun, loh." Meskipun bingung, Tasya tetap mengelus tengkuk Anas.

"Pusing. Nggak kuat," keluh Anas, mencengkram pinggiran wastafel saat kakinya terasa lemas.

Tasya panik sendiri mendengarnya, "Aduh, Anas jangan buat aku takut, dong." Perempuan itu menuntun Anas pelan-pelan kembali ke kasur.

"Kaki gue nggak bisa gerak."

"Nggak bisa gerak gimana?" tanya Tasya panik.

"Pusing, lemes banget."

Tasya menggigit bibirnya cemas, "Ke kasur dulu, yuk, aku bantu pelan-pelan."

"Nggak mau, pusing."

"Di sini dingin, Anas. Kamu demam nih pasti."

Melihat manik Anas yang tertutup, rasa takut dalam diri Tasya tak lagi terbendung, berlari keluar kamar untuk mengambil ponselnya.

"Halo? Dian sibuk nggak? Bisa ke sini? Minta tolong bentar, cepet ya!" ucap Tasya cepat, tanpa menunggu jawaban atau ucapan dari seberang sana.

•••

"Nggak perlu."

"Kamu gimana sih! Suami aku kayak gini, kamu bilang nggak perlu ke rumah sakit?!" Tasya menatap Hendra sinis, bersedekap dada. "Kalian mending keluar, nggak membantu sama sekali! Aku bisa bawa Anas ke rumah sakit sendiri."

Tasya hendak menaiki tangga menuju kamar, berganti pakaian. Tidak mungkin dirinya keluar hanya dengan piyama tidur seperti ini.

"Anas tidur, Sya, bukan pingsan. Yang perlu diperiksa itu lo!" tekan Hendra

"Aku nggak sakit! Kalian keluar aja sana! Makasih udah dateng."

Hendra menghela napas pelan. Menatap punggung Tasya sulit. "Fiks dia hamil!"

Dian dan Abigail menatap Hendra menganga, sementara Awan mengangguk setuju.

Sebagai orang yang sudah berstatus dan sudah memiliki anak, Hendra dan Awan lebih banyak pengetahuan mengenai hal dasar seperti ini.

Meskipun sedikit aneh saat mengetahui yang merasakannya itu Anas, namun Hendra pernah mendengar hal itu mungkin saja terjadi dari mertuanya.

"Tunggu dulu, Sya. Dengerin gue dulu."

Tasya nurut, menatap Hendra datar, menunggu laki-laki itu mengucapkan sesuatu. "Lo pasti stok testpack, kan? Lo coba dulu sekarang. Kalo lo emang positif hamil, berarti Anas nggak perlu dibawa ke rumah sakit."

Tasya menatap Hendra sendu, "Aku udah cek, Hen. Dan hasilnya negatif. Aku nggak mau berharap lagi, Anas pasti demam. Dia juga belum makan dari tadi pagi," ucap Tasya lirih.

Awan terdiam kaku, menggigit bibirnya. Entah sekuat apa hati Tasya saat mengetahui hasilnya, hal yang paling mendebarkan bagi seorang istri saat melihat hasil testpack. Pejuang garis dua yang tak kunjung Tuhan percayakan untuk menimang buah hati.

"Kapan terakhir kali lo cek?" tanya Hendra beruntun, seolah tak percaya jika instingnya meleset.

"Udah lama, waktu aku juga telat dateng bulan."

"Sekarang belum cek, kan?"

Tasya menggeleng lirih, "Muka Anas kecewa banget waktu itu, dia mungkin juga berharap lebih. Aku takut gagal lagi," ucap Tasya.

"Coba lagi, gue yakin lo berhasil kali ini."

"Hen!" tegur Awan. Istrinya pernah sekali mengalami kegagalan saat tes, dan saat itu Carnia menangis meraung, bahkan beberapa hari perempuan itu tak selera makan.

Tasya terdiam sejenak, mempertimbangkan saran Hendra.

•••

Anas memegang keningnya yang terbalut handuk kecil. Laki-laki itu menatap istrinya yang tertidur di sebelahnya, dengan baskom kecil yang berada di nakas. Anas mengusap kepala Tasya lembut.

Menatap ke atas dengan air mata yang menggenang. Mimpinya tadi membuat Anas merasa jika dirinya dibawa ke masa lalu, bertemu banyak orang yang cukup banyak menaruh luka pada hatinya.

Laki-laki itu memiringkan tubuhnya, mendekap tubuh Tasya erat, mencium rambut istrinya berkali-kali.

Suara isakan Anas membuat Tasya terbangun, mengucek matanya pelan. Setelah dirasa pandangannya kembali jernih, Tasya menoleh terkejut pada Anas.

"Loh Anas? Masih pusing? Ke rumah sakit yuk," ajak Tasya, bangkit, duduk di kasurnya.

Anas menggeleng lirih. Mencari posisi ternyamannya dengan membenamkan wajah di perut Tasya.

"Mau makan."

Tasya mengangguk pelan, "Aku masakin, kita ke dapur ya."

"Mau bales dendam." Tasya terdiam kali ini, mendengar ucapan datar Anas. Tangannya terus bergerak, membiarkan Anas mengeluarkan unek-uneknya.

"Keluarga Arendra harus musnah. Mereka udah buat gue menderita dari kecil, gue dulu bego banget ya, Sya. Niat mau nolongin mereka."

"Anas?"

"Hm?" dehem Anas. Laki-laki itu mengecup perut Tasya berkali-kali membuat Tasya tertawa geli.

"Pikirin itu nanti ya, jangan pancing kejahatan, katanya mau hidup bahagia berdua?"

Anas menggeleng tegas, "Bukan berdua, tapi sama anak kita."

"Iya, bertiga?"

Anas kembali menggeleng, "Berempat?" tanyanya meminta saran Tasya. Perempuan itu mengangguk yakin, pasti mereka bisa mewujudkannya. Karena Tasya yakin akan adanya kuasa Tuhan.

"Hidup bahagia berempat," ucap Tasya.

Anas terkekeh pelan, menatap perut Tasya instens, sebelum tangannya mengelus lembut dari luar. "Semoga kamu cepet hadir, ya. Bawa kebahagiaan buat keluarga kecil kita." Laki-laki itu mengecup perut Tasya lama.

Tasya mendongak dengan air matanya, bingung hendak bilang bagaimana kepada Anas. Haruskan langsung to the point? Atau perlu basa-basi?

ANASTASYA : NEXT GENERATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang