Seorang gadis berdiri di pinggir jembatan, menatap sungai di bawahnya dengan datar. Rambut pendeknya berkibar, tertiup angin sopai. Suara air terdengar di pendengarannya, mendominasi. Dengan suasana yang cukup sepi, khas pedesaan.
Gadis itu tersenyum cerah. Menatap langit dengan manik beningnya. Cika hendak berteriak, namun rasanya sangat mustahil.
"Anas ..." Cika tertawa pelan atas ucapannya. Gadis itu menggeleng setelahnya. "Yah, emang gue ditakdirkan nggak pernah beruntung. Keluarga hancur, bahkan kisah cinta gue juga akan hancur."
Cika menghela napas lelah, "Bodo deh, mending cari kesibukan, biar nggak galau."
"Dikira gue go**** apa, mau aja ngegalauin kenyataan yang nggak sesuai sama harapan gue." Cika tersenyum miring, meraih headphonenya sebelum berjalan santai.
•••
Tasya tersenyum senang, menatap pemandangan di depannya, mengusap peluh di kening. Tasya menghela napas lega saat tepat waktunya, gadis itu berjalan menuju pintu kala mendengar suara motor Anas.
Hari sudah cukup malam, Anas tadi berkata jika akan mampir ke rumah Ibu sebelum pulang.
Tatapan Tasya terkunci pada jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Lampu rumah sudah Tasya matikan sejak tadi, sengaja untuk mengejutkan Anas.
Tepat hari ini, hari ulang tahun Anas, ke dua puluh empat. Namun ini pertama kali Tasya merayakannya. Tasya sudah menyiapkan semuanya saat siang, mulai dari dekorasi hingga kado.
"Sya?" panggil Anas, pemuda itu menatap rumahnya heran, saat tatapannya tertuju pada rumah tetangga yang lampunya menyala. Itu artinya bukan mati lampu.
Anas mencoba membuka pintu, hingga teriakan Tasya mengejutkannya.
"HAPPY BIRTHDAY!"
Anas samar melihat istrinya membawa kue dengan penerangan dari lilin.
"Selamat ulang tahun, udah tua aja ya kamu." Tasya terkekeh pelan, tak melihat wajah Anas yang tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Pemuda itu hanya tersenyum tipis beberapa detik, sebelum kembali datar.
"Lampunya nyalain, Sya."
Tasya mengangguk, menaruh kuenya di meja.
Gadis itu kembali, penampilannya tidak terlalu mencolok, hanya menggunakan baju santai. Acara ini juga acara sederhana, hanya Tasya dan Anas. Tidak mengajak teman Anas yang lainnya.
"Mau kuenya apa nastar?"
"Nastar," jawab Anas cepat. Tasya tertawa pelan, mengambil toples nastar untuk diserahkan kepada Anas.
"Nggak mau make a wish?"
Anas menatap Tasya sulit, sebelum menggeleng lirih. "Tuhan udah tau apa yang gue mau."
Tasya mendengus pelan, ucapan Anas memang tidak salah.
Tasya berkedip pelan saat menyadari jika dia tertinggal sesuatu. Kadonya belum dia serahkan kepada Anas.
"Ini kado dari aku, semoga suka ya." Tasya menaruh box besar itu di hadapan Anas. Tersenyum lebar saat Anas tersenyum lembut ke arahnya.
Box berwarna hijau daun itu menarik perhatian Anas, menatap Tasya lamat.
"Ada apa?" tanya Tasya.
"Nggak."
Tasya mengangguk paham. "Ayo buka."
Anas membuka kado pemberian Tasya, menyobek kertas pelapisnya. Menemukan beberapa pigura fotonya dan Tasya yang diedit, mirip seperti foto berdua. Aslinya itu dua foto yang digabung seolah-olah memang foto berdua.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
Ficción General"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...