Anas menghela napas saat mengalami gejala rutin paginya. Laki-laki itu keluar kamar untuk mempersiapkan diri, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
Anas kembali berbaring saat melihat kasur, seolah benda itu merayunya untuk kembali tertidur.
"Anas, bangun. Kuliah!" Tasya datang dari pintu, menuju lemari untuk menyiapkan baju suaminya. Menarik tangan Anas agar kembali bangkit.
"Bolos aja ya? Nanti kalo gue mual di sana gimana?" tanya Anas lesu.
"Mual aja masih bisa diatasi, nanti minta ijin ke toilet, pendidikan itu penting, Anas. Buruan mandi sana."
Meskipun dengan dengusan sebal, Anas tetap berdiri, menuju kamar mandi.
Tasya menatap suaminya dengan senyum songong, "Sedamai ini ternyata."
Baginya yang tidak merasakan, Tasya merasa sangat beruntung. Dirinya jadi bisa melakukan kegiatan setiap paginya dengan bebas. Tidak terhalang mual, pusing dan sebagainya, meskipun ada rasa kurang saat hamil namun tidak merasa efek hamil sama sekali.
Perempuan itu berlalu menuju bawah, menyiapkan sarapan Anas.
•••
"Pagi," sapa Tasya, melihat kehadiran Anas yang menggosok rambutnya dengan tatapan kearah bawah.
"Pagi," balas Anas. Mendudukkan tubuhnya di sebelah Tasya.
"Mau makan ini, kan?"
"Gue bisa makan apapun, Sya. Jangan nyepelein gue," ucap Anas datar, menatap istrinya yang cengengesan tidak jelas.
"Siapa tau," gumam perempuan itu lirih.
"Ternyata sulit juga ya jadi orang hamil."
Tangan Tasya yang masih mengambil nasi terhenti, tertawa pelan. "Iya. Makanya jangan suka durhaka sama orangtua."
Anas mengangguk pelan, "Untung gue nggak pernah bantah ucapan Ibu."
Tasya terdiam kaku, menahan napas beberapa detik. Sepertinya memang Brenda dan Fajar sudah terlalu banyak menaruh luka pada hati Anas. Sampai laki-laki itu benar-benar tidak menganggap kehadiran mereka.
"Kamu nanya gitu, kenapa?"
Anas tersenyum tipis, "Sulit aja, gue ikut ngerasain soalnya."
Tasya tertawa pelan, mengangguk setuju atas ucapan Anas. "Udah kayak kamu yang hamil."
Anas mendengus malas, "Padahal lo juga mau punya anak, kenapa gue yang kena juga."
"Eits nggak boleh gitu, nikmatin aja, nanti kamu rindu kalo udah nggak ngerasain."
Anas mengangguk pelan, menatap manik Tasya lamat. "Maaf."
"Gapapa, udah ayo makan, nanti kamu telat."
"Lo nggak ngajar?"
Tasya terdiam sejenak, ingin mengungkapkan rencananya, namun sepertinya waktu Anas untuk berbicara serius hampir habis, laki-laki itu harus berangkat sekarang.
"Libur, buruan dihabisin, berangkat. Kamu berangkat aku mau beres-beres rumah."
"Jangan capek."
•••
Anas memarkirkan motornya, menatap parkiran yang masih sedikit sepi. Tatapan lelaki itu disambut dengan puluhan mahasiswa dengan tas laptop dan berbincang riang bersama temannya.
Anas menghela napas, andai dia tidak kuliah, mungkin sekarang masih bisa berleha-leha di kasur.
Namun Anas harus menamatkan S2 segera, agar saat anaknya lahir, dirinya sudah bisa bebas bermain tanpa ada halangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...