"Kamu serius mau punya anak?"
Anas menatap Tasya bingung, mengerutkan alisnya bertanya.
"Apapun resikonya, asalkan kamu punya anak darah daging kamu sendiri, kamu mau?" tanya Tasya.
Melihat air mata istrinya, Anas dibuat bimbang. Apa maksud Tasya?
Anas menggeleng, "Darah daging kita berdua. Anak kandung kita, bukan cuman gue."
"Iya, kamu mau?"
Anas memiringkan kepalanya, mengangguk yakin. Tasya tersenyum pelan.
"Bukannya jadi orangtua itu harus terima semua konsekuensinya. Semua hal yang kita lakuin itu pasti ada konsekuensinya, kalo nggak mau nerima resikonya ya jangan berharap tinggi."
"Gue pengen jadi orangtua, kalo kamu udah ada diperut itu artinya kita berdua udah dikasih kepercayaan."
Anas mengelus perut Tasya pelan. Membayangkan jika perut istrinya terdapat janin yang bergerak membalas ucapan Anas.
"Ayah atau Papa?"
Anas melirik Tasya sejenak. "Papa bagus, tapi gue maunya Ayah."
"Papa itu bre*****! Tapi Ayah belum tentu."
Tasya menghela napas lelah, agaknya memang dendam Anas terhadap keluarga Arendra akan mendarah daging sampai laki-laki itu puas.
"Ayah, Bunda bagus, kan?" tanya Anas meminta pendapat Tasya.
"Iya bagus."
Anas terkekeh pelan, mengecup, lagi perut Tasya.
"Kalo kamu udah ada di perut Bunda, Ayah cuman mau bilang, makasih. Bertahan sampai melihat cahaya dunia, ya. Ayah nungguin kamu, Ayah akan selalu nungguin kamu, sampai kapanpun." Anas mengecup perut Tasya dengan manik tertutup, membiarkan air matanya menetes perlahan.
"Tunggu delapan bulan lagi, ya, Yah. Aku bakalan lihat dunia."
Anas membuka maniknya, menatap Tasya terkejut. Laki-laki itu spontan berdiri, maniknya bergetar hebat.
"Lo jangan boongin gue!" ucap Anas bergetar. Menggeleng tak percaya.
Selama ini, Anas melihat Tasya baik-baik saja, tidak menunjukkan hal aneh seperti mengidam atau yang lainnya. Dan sekarang mengucapkan jika sedang hamil.
Tapi bolehkah Anas berharap itu benar terjadi?
Tasya ikut terisak, "Aku nggak boong." Tasya membuka laci nakas dipaling bawah, menunjukkan testpack yang bergaris dua ke hadapan Anas.
Anas mengambilnya dengan bibir yang digigit kuat, melihat garis dua yang selalu dirinya dengar dari orang-orang. Mereka bilang jika garis dua itu artinya positif, jadi Tasya memang tidak membohonginya.
"Beneran ternyata." Anas terkekeh pelan, mengusap air matanya. "Gue mau jadi Ayah?"
Tasya mengangguk antusias. "Aku jadi Ibu. Aku jadi Ibu, Anas. Aku bisa gendong anak aku, aku bisa, aku pasti bisa." Tasya tak kalah senang, apalagi dirinya memang tidak pernah menaruh harapan pada keinginannya itu. Namun saat tes tadi siang, Tasya dibuat menangis haru saat melihat sendiri hasilnya positif. Bahkan setelah dia cek berulang-ulang.
Untung Tasya menyetujui ucapan Hendra untuk cek kembali, dan sekarang kejutan tak terkira telah Tuhan persiapkan untuk mereka.
"Kita jadi orangtua." Anas menghambur, memeluk Tasya erat. Mengucapkan kalimat 'makasih' berulang.
Tasya tertawa disela tangis harunya. Perempuan itu mengecup pipi suaminya sekilas. "Sama-sama."
"Kita usahain yang terbaik untuk anak kita, ya."
"Pasti, aku akan berusaha jadi Ibu yang baik, yang bisa anak kita banggain."
Anas menatap perut rata Tasya dengan senyum teduhnya. "Makasih, makasih udah percaya kita buat jadi orangtua kamu. Makasih, ya, Nak." Anas mengelus perut Tasya, sesekali mengecupnya.
"Lo tadi bilang konsekuensi, ini mah namanya rejeki, Sya. Resiko itu kita tanggung bareng-bareng setelah anak kita lahir." Anas berucap pelan, masih sibuk mengelus perut Tasya dengan manik tertutup.
Tasya tertawa pelan, bingung hendak mengucapkan bagaimana jika pusing dan mualnya tadi tanda morning sickness.
"Tapi gue heran, deh. Lo kok bisa hamil?"
Tasya menempeleng kepala Anas, membuat laki-laki itu meringis pelan.
"Kamu ini, ih!" Tasya kembali memukul Anas dengan bantal bertubi-tubi.
"Aduh. Ampun, Sya, dengerin dulu."
Tasya mendengus malas, memutar matanya saat melihat wajah memelas Anas. Laki-laki itu mengusap kepalanya, menghela napas pelan.
"Maksud gue, selama ini lo nggak ngidam apapun dan tiba-tiba aja ketauan hamil?"
"Tadi pagi aku telpon Dian, minta tolong buat bawa kamu ke rumah sakit, eh malah aku yang disuruh Hendra buat periksa pake testpack. Awalnya aku ragu, takut kemakan harapan kayak yang udah-udah. Tapi akhirnya aku tes dan hasilnya beneran positif."
Anas mengangguk beberapa kali, hendak berucap sebelum dipotong oleh Tasya.
"Belum selesai. Duduk diem dulu." Tasya mengambil napas, melanjutkan ceritanya. "Aku marah kan sama Hendra, suruh bawa kamu ke rumah sakit, malah nyuruh aku yang harus diperiksa. Sampe akhirnya aku percaya sama omongan Hendra setelah tes. Dia bilang kamu yang ngerasain morning sickness, bukan aku. Itu bukan hal langka karena beberapa ada juga yang ngalami itu suaminya bukan istrinya, gitu katanya."
Anas mengangguk pelan, sebelum melotot dengan manik membulat. "Berarti gue setiap pagi bakalan ngerasain pusing sama mual?"
Tasya tersenyum miring, menatap suaminya mengejek. "Sayangnya iya, makasih ya, sayang."
Anas mendengus pelan, tapi saat sadar ada makhluk kecil di perut Tasya, laki-laki itu kembali tersenyum. "It's okay sayangku. Demi anak kita dan demi bolos kuliah aku rela ngalamin itu tiap hari."
Tasya tertawa pelan, melempar kembali bantal ke arah Anas. "Iya harus. Kan kamu yang kebelet pengen punya anak, sekarang resikonya di kamu dulu, besok kalo lahiran biar aku yang ngerasain sakit."
Anas tertawa lebar, memeluk Tasya erat-erat. Saking eratnya, tubuh Tasya sampai limbun hingga terbaring di kasur.
"Anas awas, ada anak kamu ini."
Anas segera menahan berat badannya menggunakan tangan, menatap Tasya dari atas. "Makasih banyak. Sayang kamu." Secepat kilat Anas mencium bibir istrinya.
"Bilang aku-kamu kalo lagi seneng aja?"
Anas memiringkan kepalanya. "Terus?"
"Tiap hari dong, masa pake lo-gue, berasa kayak orang asing aja."
Anas terdiam. "Aku coba."
Tasya terkekeh pelan, mencium bibir Anas cepat, apalagi melihat wajah bingung laki-laki itu yang nampak lucu.
"Tadi belum dijawab."
Tasya berpikir sedetik sebelum mengangguk, "Sama-sama. Tapi ucapin lagi setelah aku lahiran, okay? Aku harap bisa selalu dideket kamu saat lahiran nanti. Aku mau ditemenin sama kamu."
Anas mengangguk yakin. "Pasti."
"Kamu mau anak cewek ya?"
Anas terdiam sejenak, "Boleh?"
"Boleh aja, tapi kalo anak yang lahir cowok? Kita nggak bisa nentuin takdir anak kita, Anas."
Anas mengangguk yakin, "Jangan USG ya? Biar jadi kejutan."
Tasya tertawa pelan, melingkarkan tangannya di leher Anas. "Siapa takut," sombongnya.
"Cewek cowok, apapun anak kita nanti, aku janji akan tetep berusaha jadi Ibu yang baik."
Anas mengangguk pelan, dalam batin laki-laki itu berteriak mengucapkan keinginannya.
Semoga cewek
•••

KAMU SEDANG MEMBACA
ANASTASYA : NEXT GENERATION
General Fiction"GUE JUGA NGGAK BUTUH ANAK KALO ANAKNYA COWOK!" Tasya tidak pernah mau dihadapkan dengan situasi seperti ini. Perempuan itu sempat dihantui dengan perasaan cemas, takut sikap bejat orangtua Anas, kini menurun juga kepada Anas. Kedua orangtua Anas...