Bab 01 Masuk Pesantren

2.1K 42 0
                                    

Di siang hari yang cerah yang penuh dengan kemacetan di jalan besar jakarta terlihat didalam sebuah mobil tampak seorang gadis cantik berhijab yang kini sedang memayumkan bibirnya karna kesal pada sangat ayah yang tega membawa dirinya pergi jauh dari sekolah dan teman temannya. 

"Sudahlah nak, jangan marah lagi ya sayang," Pintar ayahnya sambil terus mengemudikan mobilnya. 

"Gak! Zira bakal tetap begini sampai ayah mau balikin Zira ke bandung sekarang!" Tegasnya tak mau kalah. 

"Tapi sayang, ayah gak bisa biarin kamu berada di sana sendiri, ayah takut kamu salah pergaulan," ucap Ayahnya lagi. 

"Tapi yah, disana ada Rellis, Bela dan Nathan yang bakal jagain Zira," ucap Zira. 

"Rellis dan Bela? Yang selalu pergi ke club, Balapan motor, mabuk mabukan? Apa kamu pikir itu bagus, iya mungkin mereka akan jagain kamu tapi berkumpul dengan orang seperti itu tidak bagus," Peringat ayahnya. 

"Kan ada Nathan bang," ucap Zira. 

"Dia mungkin tidak seperti kedua teman gadismu, dia anak yang baik, tapi... Dia itu nonis dan juga kau tidak boleh berdekatan dengan orang yang bukan muhrimmu," Tekan sangat ayah. 

"Yah! Ayah ini kenapa sih! Bahasnya agama mulu, padahal Zira udah ikutin semua, ngaji udah, sholat udah, bahkan Zira sampe make hijab loh! Mana gerah lagi," ucapnya mengeluarkan semua kekesalannya. 

____________

Zahira Almira As-shalwa, seorang gadis cantik yang merupakan putri dari seorang pengusaha bernama Andrianto Hasan. Zahira atau sering dipanggil Zira merupakan seorang gadis yang usil dan sangat bar bar namun semua sifat itu ditutupi oleh penampilannya yang terlihat agamis membuat siapa saja akan berpikir dia adalah gadis yang sholeh dan lemah lembut. 

____________

Mendengar kekesalan sangat putri ayahnya pun merasa bingung harus diapakan lagi sangat putri nya ini agar bisa paham yang dirinya ucapkan. 

"Huft, baiklah kalo kamu kembali kesana," ucap ayahnya menghela napas. 

"Yes! Akhirnya berhasil juga bujuk ayah hihi... Baiklah tunggu gue disana ya teman teman, " Batinnya gembira. 

"Makasih banyak yah," ucap Zira terharu. 

"Oke, padahal ayah udah beliin kamu motor sport terbaru yang kamu inginkan itu dan sekarang motor itu ada di jakarta ini, tapi gapapa kalo kamu gak mau, " ucap Ayahnya mulai menggoda putrinya. 

"Sialan ni tua bangka! Pake acara ngebujak lagi! Tapi, kalo gue bisa bawa motor sport keluaran terbaru itu pasti teman teman bakal iri, " Batinnya sambil memikirkan motor sport impiannya itu. 

 "Oke deh ayah menang, Zira ikut kejakarta saja," ucapnya pasrah. 

"Nah gitu dong, oke kamu duduk manis saja ya," ucap ayahnya lalu fokus pada jalanan. 

"Maafin gue gaes, motor sport itu lebih berharga dari pada kalian, untuk sementara gue milih motor sport keluaran terbaru dulu, " Batinnya sambil menatap sendu kearah luar. 

***

Setelah beberapa jam perjalanan kini mereka pun  sampai ketempat tujuannya. Zira dan ayahnya pun turun dari mobil dan betapa terkejutnya Zira kala dirinya berada didepan pintu gerbang sebuah pesantren bertuliskan "Ar-Rasyid".

" Yah, sejak kapan kita tinggal di pesantren? Ini pesantren milik ayah?" Tanya Zira bingung. 

"Bukan kita nak, tapi kamu yang akan tinggal disini. Ini pesantren milik sahabat ayah," ucap ayahnya membuat dirinya ternganga. 

"Apa! Gak gak! Zira gak mau tinggal di pesantren, norak yah norak!" Seru Zira menolak perintah ayahnya.

"Norak norak, yang ada kamu yang norak karna ilmu agamanya masih minus," ucap sang ayah lalu menarik lengan Zira masuk kedalam pesantren.

"Gak mau yah! Zira gak mauu~" Tolak nya sambil tangannya di ulurkan pada mobil milik ayahnya berharap mobil itu mau menarik dirinya masuk namun itu semua tak akan pernah terjadi karna mobil itu hanya bisa diam melihat Zira dibawah pergi.

Didalam pesantren Zira melihat semunya terlihat sangat rapih dan indah mulai dari tamannya, lagu sholawat yang diputar di dalam mushola, kelas kelas yang sedang belajar, perkebunan yang penuh dengan sayur sayuran serta beberapa pohon yang berbuah seperti mangga dan rambutan.

"Assalamu'alaikum, " ucap ayah Zira pada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi teras rumahnya.

"Wa'alaikumsalam," Jawab pria paruh baya itu.

"Andri? Yaampun Ndri apa kabar, akhirnya kamu datang juga ke pesantren ku ini, " ucapnya menyambut ayah Zira yang merupakan sahabat lamanya.

"Maaf baru berkunjung. Ngomong ngomong, dimana Ratna?" Tanya ayah Zira.

"Oh dia sedang di dapur, duduklah sebentar lagi dia akan keluar," ucapnya.

"Gak usah deh Dul, aku juga sedang terburu buru. Aku datang kesini untuk menitipkan putriku di pesantren ini agar dia belajar tentang agama lebih baik lagi," ucap ayah Zira pada sahabatnya yang bernama Abdul.

"Akhirnya kau membawa putri mu kesini, aku sudah menunggu lama. Tapi gapapa, halo sayang semoga kamu betah ya," ucap Kyai Abdul pada Zira.

"Halo om, maaf ya om kalo saya boleh jujur saya gak akan betah disini. Lagian saya itu orangnya pengen bebas jadi jangan salahkan saya jika saya banyak melanggar peraturan pesantren ya om," Jawab Zira pada Kyai Abdul membuat sang ayah menatap tajam Zira sedangkan Kyai Abdul hanya tertawa melihat tingkah Zira.

"Apa yang kau katakan itu hah! Dia itu pemilik pesantren ini jadi panggil dia Kyai! Dan apa apaan itu tadi Zira? Kenapa kau berkata seperti itu," ucap ayahnya sambil berbisik pada Zira.

"Yaampun kan itu emang benar yah, dan bukannya ayah bilang kita itu harus jujur, jadi Zira cuma berkata jujur aja," ucap Zira pada ayahnya.

"Haha... Dia sama seperti kamu waktu remaja dulu ya Ndri," ucap Kyai Abdul.

Setelah beberapa lama bercengkrama dan berbicara akhirnya ayah Zira pun pergi setelah menyelesaikan semua formalitasnya untuk menempatkan Zira ke pondok pesantren itu.

"Eh ini anak siapa?" Tanya Umi Ratna pada suaminya sambil melirik Zira.

"Ini putrinya Andri," ucap Kyai Abdul pada istrinya sambil meraih teh yang disodorkan padanya.

"MasyaAllah, jadi kamu putrinya Aisyah,"  ucap Umi Ratna terharu seraya menatap Zira yang memang mirip dengan sahabatnya Aisyah.

"Iya tante, saya putrinya bunda dan ayah saya," ucap Zira. Umi Ratna yang dipanggil dengan tante seperti itu hanya dapat meringis seraya memegang wajahnya. Kyai Abdul yang melihat istrinya memegang wajahnya hanya terkekeh, baru kali ini dirinya melihat sang istri yang menanggapi serius ucapan orang lain. Biasanya apapun ucapan orang dia hanya akan tersenyum dan tak menanggapi dengan serius.

"Ih yaampun sayang, jangan manggil tante. Panggil aja Umi ya, lagian Umi belum terlalu tua kalo dipanggil tante," ucap Umi Ratna.

"Eh, siapa yang bilang tan-maksudnya siapa yang bilang Umi tua? Kalo tua mah Zira panggilnya nenek bukan tante," Jawab Zira membuat Kyai Abdul terkekeh sementara Umi Ratna hanya dapat cemberut mendengar ucapan Zira.

Santri Kesayangan Gus Zizan ( The End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang