22. Uchiha Obito

183 10 5
                                    

-MENARUH PERASAAN-

Sore itu angin berembus kencang, langit tampak mendung, dan beberapa orang terlihat telah menyiapkan payung. Siap siaga jika suatu waktu tetes air dari langit mengguyur deras, tumpah menimpa seisi kota.

"Aku jadi teringat permainan teka-teki," ucapku setengah menyeringai.

"Apa?" tanya Obito yang berada disebelah ku. Matanya fokus menatap orang-orang berlalu lalang.

Punggungku bersandar pada dinding toko roti yang terbuat dari batu-bata. Kami telah berteduh sedari 5 menit yang lalu--padahal hujan belum turun.

"Negara apa yang selalu siaga payung sebelum hujan?"

Obito melirik. Ia tampak berpikir, terlihat dari alisnya yang mengerut. Aku tak bisa tak menahan senyumanku, terlalu lucu melihat ekspresinya.

"Tahu tidak?" tanyaku tak sabaran.

Obito mengembuskan napas. Menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, jadi apa jawabannya?"

"Swedia payung sebelum hujan!" Aku menjawab dengan penuh rasa bangga. Haha, dia tidak bisa menebaknya. Senang sekali.

Obito mencubit hidungku. Seketika aku melotot, menepis tangannya. Lantas tanganku mengelus-ngelus hidung.

"Berani-beraninya kau mencubit hidung mancung ku!" bentak ku seraya menunjuk wajah Obito menggunakan jari telunjukku.

"Kurang mancung itu. Kalau mau disebut mancung, hidungnya harus sepanjang Pinokio," ujar Obito. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah.

Plak! Aku menampar pergelangan tangannya, astaga. Kesal sekali dengan lelaki yang satu ini.

Obito menanggapinya hanya dengan tertawa. Tak mempedulikan wajahku yang memerah karena kesal. Lihat saja, aku akan membuatnya menyesal suatu saat nanti.

Zrashh!

Hujan tiba-tiba turun dengan deras, aku refleks melangkah mundur. Air hujan dengan cepat mengenai sepatuku. Bisa gawat kalau basah--gawat karena aku tak mau mencucinya.

"Hei, tubuhmu hanya terkena air beberapa tetes. Cemen, langsung mundur," Obito meledek. Ia berkacak pinggang melihatku.

"Asal kau tahu ya, sepatu yang ku kenakan saat ini harganya 271T. Aku tak mau sepatu mahal ku basah," timpal ku sembari tetap sebisa mungkin menjauhi air hujan.

Obito tertawa terbahak-bahak. "271T? Padahal kau kalau mau beli seblak saja uangnya minta padaku."

Aku terdiam. Ah, benar juga. Tidak. Aku tak boleh mengaku, jika tidak aku akan kalah dalam perdebatan tanpa manfaat ini.

"Ah, apa sih. Kan seorang babu harus melayani tuannya, termasuk membayari makanannya." Bibirku terangkat, menyeringai.

Obito mengangkat bahu. "Terserah kau saja deh."

·𖥸· ─── ·

Hujan tak kunjung mereda, malah semakin deras. Aku mulai menyesal memutuskan untuk jalan-jalan pagi tadi. Seandainya aku tetap diam di rumah, mungkin kini aku tengah tidur berselimutkan selimut lembut nan hangat. Ah, nikmatnya.

"Obito, hujan begini enaknya diselimuti uang ya kan?"

Lengang. Aku menoleh, mengapa ia tak menjawab?

"Eh, Obito!"

Dimana dia? Mengapa dia tak ada disini?

_Anime Naruto Boruto Chara x Readers_Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang