Olen duduk di kursi taman yang ada di belakang sekolahnya, memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi dalam waktu dekat.
Karena sudah hampir tiga minggu berlalu, tapi pikiran Olen tak pernah tenang satu hari pun sejak kejadian malam itu.
Olen selalu merasa bersalah tiap melihat Erine di sekolah, pikirannya benar-benar kacau.
Mengenai hubungan antara ia dan gadis cantik itu, jujur saja Olen masih tak berani bergerak untuk mendekat ataupun menjauh dari Erine.
Karena belum ada kejelasan tentang hal yang terjadi akibat dari kejadian malam itu.
Jika hasilnya positif, maka mereka berdua harus bertanggung jawab atas apa yang sudah mereka lakukan.
Namun, jika hasilnya negatif pun, rasanya Olen tak akan tega menjauh dari Erine.
Karena meskipun hasilnya negatif, itu tak akan melepaskan fakta jika Olen sudah mengambil salah satu hal yang paling berharga dari Erine.
Pusing.
Memikirkannya saja berhasil membuat Olen pusing setengah mati, ingin kabur tapi ia tau, jika itu tak akan menyelesaikan masalah.
Yang ada, masalah akan semakin melebar dan rumit.
Bukannya tenang malah makin kepikiran.
Lagi, untuk kesekian kalinya, Olen menghela napas berat.
Saat ingin mengambil ponselnya di saku celana, tiba-tiba Olen menyadari jika ada seorang gadis yang mendekat ke arahnya.
Menajamkan matanya sebentar kemudian menyadari jika itu adalah Erine.
Kedatangan gadis cantik itu berhasil membuat jantung Olen berdegup jauh lebih kencang dari yang biasanya.
Tepat setelah Erine sampai di hadapannya, Olen mencoba untuk tersenyum, "hai," sapa pemuda itu.
Erine hanya tersenyum tipis, "hai," balasnya dengan jemari yang saling bertautan, tanda kegelisahan.
Suasana yang super canggung itu berhasil membuat Olen maupun Erine bingung harus melakukan apa.
"Kamu ke sini pasti ada yang mau diobrolin kan?" Tanya Olen yang dibalas anggukan pelan oleh gadis cantik itu, "yaudah, kita cari tempat yang rada sepian buat ngobrolnya, mau?"
Lagi, Erine mengangguk, karena gadis cantik itu merasa obrolan mereka nanti akan sangat intens dengan topik yang berat, sehingga suasana yang tenang, memang sangat dibutuhkan.
"Kamu tadi ke sekolah naik apa? sama supir atau bawa kendaraan sendiri?" Tanya Olen sambil menatap ke arah gadis cantik itu.
"Dianter supir," balas Erine pelan dan mendapat anggukan dari Olen.
Berdiri dari duduknya kemudian memajukan tangannya untuk digandeng oleh Erine, "kamu bareng sama aku aja perginya ya, aku bawa motor."
Erine mengangguk, namun masih bingung menatap lengan Olen yang terjulur ke arahnya.
Olen yang menyadari itu langsung terkekeh pelan, "maksudnya gandeng Rin, haha sorry ya kalo bikin bingung."
Dengan canggung, Erine menggenggam jemari Olen, terasa membingungkan tapi juga di lain sisi terasa pas dan cocok.
"Kalo ke kafe punya temenku, gapapa?" Tanya Olen sembari menatap ke arah Erine yang mengangguk pelan, "di sana ada ruangan khusus di lantai atas, biar kita ngobrol di sana aja ya."
Dan keheningan terjadi selama di perjalanan dari sekolah ke kafe teman Olen yakni Delyan.
"Ayo masuk," ucap Olen tepat setelah keduanya sampai di parkiran kafe.
Mereka berdua masuk ke dalam masih dengan tangan yang saling menggenggam, "van, gue ke atas ya," ucap Olen pada salah satu pekerja di sana.
pemuda itu menatap ke arah Olen dan Erine kemudian tersenyum, mengangguk.
Sesampainya di atas suasana canggung masih amat terasa hingga akhirnya Olen buka suara untuk memecahkan keheningan.
"Jadi gimana, Rin?"
Erine menghela napas beratnya sembari menatap ke arah Olen yang menanti ucapannya dengan tatapan khawatir.
"Aku beberapa hari lalu, mulai ngerasa gampang sakit, ditambah suka mual dan pusing," pembukaan dari Erine, berhasil membuat jantung Olen berdegup lebih cepat.
Kekhawatirannya semakin bertambah, entahlah tapi firasatnya berkata apa yang akan terjadi ke depan, merupakan hal yang buruk.
"Pikiran aku langsung tertuju ke sana, tapi aku masih berharap aku sakit itu karena stress yang aku alami beberapa waktu kebelakang," ucap Erine lagi.
Olen masih diam, memperhatikan Erine yang sedang berbicara dengan seksama dengan hati yang terus bergemuruh.
Perasaan pemuda itu campur aduk, takut, bingung, khawatir, marah dan merasa bersalah.
Namun Olen tau, jika dia tidak boleh dan tidak bisa menunjukkan hal itu di depan Erine.
Agar gadis cantik itu tetap merasa aman dan nyaman saat berbicara hal ini pada Olen. Ditambah pemuda itu juga sadar, sesulit apapun posisi dia di sini, nyatanya posisi Erine jauh lebih rumit.
Karena dia perempuan.
Dia yang akan menanggung lebih banyak kesakitan atas perbuatan mereka malam itu.
Jadi, Olen memutuskan untuk tetap terlihat tenang dan berjanji akan bertanggung jawab atas apapun hasil yang dia dengar hari ini.
Erine tampak menghela napas sebentar, sebelum melanjutkan ucapan, "karena jujur aja, sejak kejadian malam itu, aku bener-bener stress banget, overthinking tiap malem, nangis juga. Jadi, di lain sisi aku berharap, aku sakit karena itu."
Olen mengangguk dengan perlahan tangannya menggenggam jemari Erine, seolah memberikan gadis itu kekuatan.
"Akhirnya aku mutusin buat beli testpack, mastiin apa yang sebenernya terjadi sama tubuh aku. Apa emang karena kecapean dan stress atau emang karena hal yang kita berdua takutin itu beneran kejadian," lanjut gadis cantik itu dengan masih menatap dalam ke arah Olen.
Tiba-tiba suasana kembali tegang, karena Erine untuk beberapa saat tak kembali melanjutkan ucapannya, Olen jadi semakin deg-degan karena hal itu.
Apalagi saat tiba-tiba terdengar isakan tangis dari gadis cantik itu, membuat Olen semakin diselimuti rasa penasaran yang diiringi dengan rasa takut.
Nalurinya sebagai laki-laki, membuat Olen mendekat ke arah Erine, kemudian mengelus punggung gadis cantik itu seolah memberikan kekuatan, meskipun nyatanya, dia juga butuh dikuatkan.
Apalagi ketika Erine kembali menatapnya dengan pandangan terluka, yang membuat Olen tau dan paham kelanjutan dari ucapan gadis itu.
Dengan senyum yang berat, Olen merengkuh tubuh gadis cantik itu ke dalam pelukannya, mencoba memberikan keyakinan bahwa gadis itu tidak sendiri.
Bahwa dia, tidak akan pernah pergi.
Tak lama Erine melepaskan pelukan mereka dan memberikan jarak agar bisa leluasa menatap ke arah Olen.
Dengan satu hembusan napas berat, Erine mengatakan dengan nada lirih, "hasilnya positif, aku hamil."
Dan tepat setelah mendengar ucapan itu keluar dari mulut Erine, dunia mereka yang baru akan segera dimulai.
Dunia dimana Olen dan Erine bukan lagi sebagai dua remaja yang memiliki kebebasan untuk melakukan apapun sesuai keinginan mereka.
Karena sejak saat ini dan untuk seterusnya, Olen dan Erine akan memiliki tanggung jawab yang besar, sangat besar.
Yakni, menjadi orangtua.
***
Yaaa, karena udah sampe 50 vote di part sebelumnya, makanya aku up part ini, semoga suka!
btw, buat part 3, harus 65 vote dulu ya, thanks!💙
KAMU SEDANG MEMBACA
JOY [ORINE] | END
FanfictionMasih sangat dini untuk Olen dan Erine menjalani pernikahan yang hanya didasari oleh tanggung jawab dari perlakuan tak sengaja yang membuat sebuah nyawa hadir di tengah-tengah mereka.