Mulai dari beberapa hari yang lalu, rutinitas Erine bertambah di setiap malamnya.
Dimana gadis cantik itu tak hanya mengoleskan berbagai macam krim untuk wajahnya, namun juga berbincang dengan Olen melalui sambungan telepon.
Seperti saat ini, dimana Olen dan Erine sedang dalam percakapan yang seru sekali mengenai masa depan mereka bersama Joy.
"Kira-kira Joy cewek atau cowok ya?" Tanya Olen sambil menyenderkan kepalanya ke sofa kecil di yang ada di kamarnya.
Erine terdiam sebentar, memikirkan hal yang sama sebelum akhirnya berkata, "kalo aku sih bebas ya, mau cewek atau cowok menurutku sama aja, kan yang penting tuh pas lahir dia sehat dan gak kurang apapun."
Olen di seberang sana mengangguk pelan, "iyasih bener, mau cewek atau cowok sama aja menurut aku juga, karena kan yang paling penting tuh gimana cara kita nanti ngedidik dia biar jadi manusia yang baik gak sih," ucapnya sambil melihat jam di nakas, "masih jam sembilan ya, kirain udah malem banget."
Erine mengernyitkan dahinya, "emang baru jam sembilan Len, makanya aku masih ngerasa laper tapi males banget buat ke dapur ambil makan," ucapnya yang berhasil membuat Olen di seberang sana mengernyit tak suka.
"Dih, kok males sih? kalo kamu masih laper ya makan dong Rin, kan sekarang ada Joy yang perlu asupan juga. Emang kamu mau dia kurus kerontang kayak-"
Belum selesai Olen bicara, Erine sudah lebih dulu mengambil alih, "kayak kamu?"
Protes dari pemuda itu langsung terdengar di telinga Erine dan berhasil membuat gadis cantik itu terkekeh, "eh enak aja, aku tuh udah berisi tau badannya."
Erine mengangguk-anggukan kepala berulang kali, "emang iya?" tanyanya dengan nada menggoda.
"Iyalah, berisikan tulang belulang, daging dan sedikit lemak," balas Olen sambil terkekeh juga.
Mendengar itu berhasil membuat Erine terbahak, "makin malem makin gak jelas ya kamu."
Olen ikut terkekeh kemudian kembali berucap, "ayo makan, pokoknya harus makan, gak boleh gak makan karena nanti aku bakal marah."
"Emang kamu marah kayak gimana sih?" Tanya Erine sambil menyenderkan kepalanya di sandaran kasur.
"Aku marah kayak rawr rawr rawr," jawab Olen yang kemudian tertawa karena ulahnya sendiri.
Begitu pula dengan Erine yang tertawa keras saat mendengar itu, "apaan sih yaampun gak jelas banget asli," ucapnya sambil menggelengkan kepalanya.
"Haha udah ayo makan sekarang Erine," ucap Olen, kali ini lebih serius.
Erine menggeleng pelan, "gak mau ah, capek turun tangganya Len."
"Oke, otw rumah kamu," jawab Olen sambil mulai bergerak, seolah benar-benar ingin pergi ke rumah gadis cantik itu.
Erine mengernyitkan dahi, "ngapain ke rumah aku?" tanyanya bingung.
"Buat gendong kamu dari kamar ke dapur," jawab Olen sambil terkekeh.
Mendengar itu Erine tertawa lagi, "boleh kalo berani, sini."
Kali ini, Olen yang tertawa, "gak dulu deh, takut."
"Huu cemen," ejek Erine sambil terkekeh pelan.
Olen mencibir, "akan ada waktunya aku berani kok, liat aja," ucapnya dengan nada suara yang tegas dan yakin, "eh, makan kamu malah ngalihin ke yang lain."
"Gak mau ah, lagian aku juga lagi gak mau makan nasi, pengen yang dingin-dingin," ucapnya sambil mengetukkan jari telunjuk ke dagu, berpikir, "kayak es pisang ijo."
KAMU SEDANG MEMBACA
JOY [ORINE] | END
FanfictionMasih sangat dini untuk Olen dan Erine menjalani pernikahan yang hanya didasari oleh tanggung jawab dari perlakuan tak sengaja yang membuat sebuah nyawa hadir di tengah-tengah mereka.