Tubuh Olen terasa limbung saat mendengar ucapan dengan nada keras dari salah satu suster di sana. Apalagi setelah itu, semua yang berada di sana, termasuk dokter Gracia terlihat sangat panik.
Kakinya lemas, seolah tak bisa melakukan apapun selain menuruti perintah salah satu suster yang menyuruhnya untuk menunggu di luar ruangan, tempat semua keluarga berkumpul.
Tepat sesaat setelah berada di luar ruangan, tubuh Olen langsung terjatuh dengan tangisan yang mulai mengencang, membuat seluruh keluarga —Onel, Indah, Olla, Ribka, Lio dan Cynthia— langsung mendekat ke arahnya dengan panik.
"Len, kenapa? Bukannya tadi anak kalian sudah lahir?" Tanya Onel sambil mengusap bahu anak lelakinya itu dengan tatapan bingung.
Olen tak menjawab, karena masih menangis keras dengan kepala tertunduk, membuat semua yang berada di sana semakin bingung dan panik.
"Olen, kenapa nak? Ada apa? Kasih tau, biar kita gak panik, kenapa?" Tanya Indah sambil memegang wajah sang anak, sehingga saat ini wajah Olen yang penuh dengan air mata bisa sang ibu lihat dengan jelas.
"Erine ma Erine," ucap Olen disela-sela tangisannya, membuat Lio dan Cynthia langsung memusatkan perhatian mereka pada sang menantu.
"Kenapa Len? Anak ibu kenapa? Erine kenapa?" Tanya Cynthia dengan nada yang sedikit di naikkan, sementara di sebelahnya ada Lio yang juga menatap intens sang menantu.
Olen menghela napasnya dalam kemudian memandangi seluruh anggota keluarganya, "aku juga gak tau, tadi setelah anak kami lahir, tiba-tiba salah satu suster teriak, kalo Erine pendarahan," ucapnya dengan napas naik turun, "aku takut banget Erine kenapa-napa."
Dan setelah itu semua yang berada di sana terdiam dan yang terdengar hanya tangisan Olen menggema sehingga semakin terasa menyesakkan.
Hampir tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda dokter Gracia akan keluar dari ruangan bersalin, entah apa yang terjadi di dalam sana, tapi yang pasti, sedari tadi semua anggota keluarga terus berdo'a kepada yang kuasa agar Erine bisa selamat.
Terutama Olen yang selama tiga puluh menit itu terus memejamkan matanya sambil memohon pada Tuhan agar sang istri bisa selamat.
Namun sepertinya, di saat semua keluarga menyayangi Erine, Tuhan lebih besar kasih sayangnya pada perempuan cantik itu.
Karena beberapa menit kemudian, pintu ruangan dibuka dan menampilkan dokter Gracia yang ekspresinya memperlihatkan kesedihan yang mendalam.
Olen langsung berdiri dan mendekat ke arah dokter Gracia, "dok gimana istri saya? dia baik-baik aja kan dok? dia sehat kan? dia udah pulih kan?" pertanyaan beruntun yang dikeluarkan oleh pemuda itu sambil menggenggam jemari sang dokter tanpa sadar.
Tangannya tampak bergetar, perasaan panik dan takut bersatu dalam diri Olen saat ini. Apalagi saat dokter Gracia menggeleng pelan sembari tersenyum pilu.
"Maaf Olen, saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain, Erine gak—"
"Enggak! Dokter bohong! Istri saya selamat dok tadi dia masih bangun, tadi dia masih senyum pas—pas lihat saya gendong anak kami dok, tadi d—tadi dia sehat dok dia senyum, Erine senyum dok—" kalimat itu tak selesai Olen ucapkan, karena tubuhnya sudah merosot dengan kepala yang ia sandarkan pada lututnya.
Pemuda itu menangis keras, dia benar-benar kehilangan.
Sementara Gracia menghela napas panjang dan tanpa terasa air matanya mengalir, kemudian pandangannya teralih pada seluruh manusia di sana.
Dan matanya kembali memanas saat melihat Cynthia yang jatuh terduduk, tak kuat menahan bobot tubuhnya sendiri, karena orangtua mana yang kuat mengetahui jika anaknya tak ada lagi di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
JOY [ORINE] | END
FanfictionMasih sangat dini untuk Olen dan Erine menjalani pernikahan yang hanya didasari oleh tanggung jawab dari perlakuan tak sengaja yang membuat sebuah nyawa hadir di tengah-tengah mereka.